Kamis, 28 Desember 2023

WIM WALRAVEN DAN ITIH

Lahir dengan nama Willem Walraven di Belanda bagian selatan tahun 1887.
Orang tuanya adalah pedagang keliling yang pergi dari Pasar malam ke pasar malam sampai akhirnya mempunyai toko kebutuhan sehari-hari.
Hubungan yang tegang dengan orang tuanya membuat Wim tidak betah di rumah dan tinggal bersama para seniman di Delft dan Rotterdam. Lalu Wim pergi ke Kanada dan Amerika serikat. Di negara itu Wim melakukan pekerjaan apa saja untuk bertahan hidup diantaranya menjadi buruh dan tukang cuci piring.
Namun disela-sela kesibukan pekerjaan, ia menyempatkan berkunjung ke perpustakaan untuk membaca dan belajar sendiri.

Pada saat pecah Perang Dunia I tahun 1914, Wim kembali pulang ke negerinya. Namun kembali sambutan keluarganya tetap mengecewakan. 
Agustus 1915, Wim Walraven menandatangani kontrak sebagai tentara KNIL. Ia lalu ditempatkan di Cimahi sebagai tekegrafis. Tetapi statusnya yang bukan perwira dan tidak mempunyai kontak dengan penduduk sipil Eropa, membuat Wim seolah terbuang.
Di Cimahi, karena ditolak masuk restoran dan kelab Eropa, Wim sering berkumpul dengan para serdadu Belanda untuk pergi ke warung kopi. Adalah Itih, seorang janda belia yang menjaga warung kopi kepunyaan pamannya dimana Wim sering berkunjung. Sikap wanita dari Cigugur yang tidak menanggapi godaan para serdadu itu membuat Wim menaruh simpati. Tetapi mereka jarang berkomunikasi karena kendala bahasa.

Setelah tiga tahun bekerja sebagai tentara, Wim Walraven selesai kontraknya. 
Pada 1918 dia pergi ke Banyuwangi, bekerja pada sebuah maskapai minyak "Insulinde" sebagai asisten pemegang buku (boekhouder).
Surat yang dikirimkan kepada temannya yang, menanyakan kabar Itih, ternyata mendapat jawaban yang menggembirakan. Rupanya dua orang itu saling merindukan.
Dia lalu berkirim surat kepada temannya di Cimahi beserta uang sebanyak 25 gulden. Isinya menanyakan, apakah Itih mau datang ke Banyuwangi. Bila mau, pakailah uang itu sebagai ongkos perjalanan.

Pada suatu malam teman-teman Walraven "melarikan" Itih dari rumah bibi dan pamannya, kemudian menaikkan Itih ke kereta api jurusan timur. Setelah menginap semalam di Surabaya, Itih kemudian melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi. Tiba di stasiun Banyuwangi, Walraven telah menunggunya. Rupanya perkiraan Itih akan dijadikan gundik salah. Lamaran Walraven kepada Itih untuk dijadikan isteri membuatnya terkejut sebelum akhirnya dia menyatakan persetujuan.

Rupanya Itih punya bakat bahasa. Kendati tak bersekolah, akhirnya dia bisa berbahasa Belanda, diajari oleh suaminya. Selain itu Itih mengerti bahasa ,Jawa dan Madura.
Meskipun Itih sudah mulai terbuka wawasannya, banyak orang Eropa tidak mau menerima Walraven bersama istri pribuminya. Akibatnya Walraven makin terkucil di tengah lingkungannya. Hal itu pernah dikatakan dalam surat yang ditulis kepada saudaranya, Jaap: "Aku orang buangan"
Ada aspek lain dari kepribadian Willem Walraven. Dia tak pernah makan nasi. Dia lebih suka makanan Belanda seperti roti, kentang, daging. Itih belajar memasaknya untuk Walraven. Tak tahan dengan hawa yang panas, Dia tak tahan hawa panas di kota besar Walraven beserta keluarganya pindah "ke gunung" dekat Malang dengan hawa sejuknya. Tapi hasrat dambanya terhadap Negeri Belanda sungguh mendalam. Dia minta pada saudaranya mengirimkan kepadanya tanam-tanaman bumbu sebagai penyedap, seledri. "Melalui tanam-tanaman bumbu itu aku mencium bau Negeri Belanda" tulis Walraven. Itih melahirkan delapan orang anak, dan dia sadar, lantaran Itih dan anak-anaknya dia tidak pernah lagi bisa melihat dunia (Eropa) itu. Itulah yang membuatnya terkadang putus asa. Dia terus-menerus mengalami kesulitan keuangan. Dia tidak bisa mencukupkan kebutuhan rumah tangganya, mengingat keluarganya yang besar, pendapatannya yang berkurang sebagai akibat malaise, krisis ekonomi. Tambahan pula dia berhadapan dengan ketegangan-ketegangan sementara anak-anaknya menjadi dewasa. Dia hanya berbahagia bila menulis untuk surat kabar, untuk majalah sastra seperti "Kritiek en Opbouw" dan "De Fakkel".

Walraven menulis bermacam karangan mulai resensi buku, fiksi, cerpen, reportase. Dengan piawainya dia melukiskan kota-kota kecil masa lampau Belanda seperti Batavia, Rembang, Kediri dengan bahasa yang memikat.

Terkesan oleh tulisannya yang menarik, surat kabar Surabaya "Indische Courant" merekrut Walraven sebagai wartawan freelance penuh, dan pekerjaan pemegang buku perusahaan dia tinggalkan. Walraven juga diminta pemimpin redaksi, Belonje, untuk menerjemahkan karangan-karangan dalam bahasa Inggris, Jerman dan Prancis kedalam bahasa Belanda. Dia juga menulis buku "Brieven aan familie en vrienden, 1919-1941.
Pecahnya Perang Pasifik dan dimulainya pendudukan Jepang membuat Walraven dimasukkan ke Kamp Interniran di Kesilir, Jawa Timur. Di sana dia kena penyakit disentri, malaria, dan meninggal dunia pada 13 Februari 1943, beberapa saat setelah dikunjungi Itih. Kata-kata penghabisan kepada isterinya ialah, "Dag, Itih". Dia dikuburkan di desa Sanggar dan seusai perang sisa-sisa jenazahnya dipindahkan ke kuburan Leuwigajah dekat Bandung.[]

Dari buku
"Sejarah Kecil 'Petite Histoire' Indonesia.

Keterangan foto: Buku karangan Willem Walraven yang berisi kumpulan surat-surat untuk keluarga dan teman-temannya dengan ilustrasi Wim dan keluarga 



Senin, 04 Desember 2023

RAJA YANG PEDULI LELUHUR DAN SEJARAH YOGYAKARTA - MADIUN.

Usai perjanjian Giyanti (13 Februari 1755), Mangkubumi (Hamengkubuwono I) sebagai pendiri kesultanan Yogyakarta mengangkat panglimanya, Kiai Wirosentiko yang bergelar Raden Ronggo Prawirodirjo I sebagai bupati wedana (Kepala daerah wilayah timur jauh Yogya) di Madiun (1760-1784).

Sebelum Raden Ronggo I wafat pada 1784, Sultan Mangkubumi membuat janji bahwa dia dan ahli warisnya tak akan pernah menyakiti atau menumpahkan darah keturunan sang Bupati. Dan, jika mereka sampai melakukan pelanggaran, Sultan senantiasa sudi mengampuni. Tapi hanya 18 tahun sesudah raja perintis Yogya itu wafat, anaknya, Sultan II, mengingkari janji yang dibuat ayahnya.

Pada 20 November 1810, cucu Ronggo I, yang waktu itu bergelar Raden Ronggo Prawirodirjo III (menjabat 1796-1810), memilih memberontak daripada dibunuh oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang bengis itu. Ronggo III mengumumkan bahwa pemberontakannya untuk "membersihkan Jawa yang ternoda [Belanda]" serta membela hak orang Jawa dan Cina di Jawa Timur, terutama juga melindungi hutan jati Jawa Timur dari rebutan Belanda.

Hanya seminggu sesudah Ronggo III memberontak, Sultan II mengirim perintah rahasia kepada komandan pasukan gabungan Yogya-Belanda untuk memburunya.

Raden Ronggo III tertangkap di desa Sekaran (Kertosono) di tepi Bengawan Solo pada 17 Desember 1810. Sultan II tak mau menanggung malu bila membawanya ke Yogya dalam keadaan hidup. Ronggo III langsung dibunuh. Jenazahnya dibawa ke Yogya dalam keranda terbuka untuk dipertontonkan di Pangurakan utara alun-alun Keraton sebagai begal biasa.

Setelah sehari-semalam, jenazahnya diturunkan untuk dikebumikan di Banyusumurup, sebuah tempat di tenggara Imogiri dimana para durjana dan pengkhianat dinasti Mataram dimakamkan. 

Sultan II membuat sebuah "dosa besar"

Sesudah Ronggo III dibunuh, Yogya seperti hilang pembela [saicale Den Ronggo, nenggih nagri Ngayogya, wus tan ana banthengipun]. 

Hanya 18 bulan setelah kejadian fatal ini, Sultan II tertimpa "tsunami". Keraton Yogya diserang dan dijarah habis-habis oleh Inggris-Sepoy (20 Juni 1812). Semua uang (sekitar US$ 120 juta uang sekarang), 500-an naskah, gamelan, keris, pusaka, dan barangbarang perhiasan diboyong Inggris ke Bengal. Sang Raja pun kena apes, diasingkan ke Pulau Pinang (1812-1815) dan Ambon (1817-1824). Walaupun begitu, ia kemudian dikembalikan ke takhta Yogya pada 17 Agustus 1826 saat sudah terlalu pikun untuk memerintah. Siapa yang menebar angin akan menabur badai...

Adalah Sultan Hamengku Buwono IX yang mengerti sejarah leluhurnya dengan bijaksana dan mengadakan rekonsiliasi. Sultan bertindak bijak dengan membuka lagi pintu keraton bagi keluarga sang pangeran, yang sudah lama dicap seperti pengkhianat.

Jenazah Raden Ronggo lalu digali dan disemayamkan ulang nun jauh di gunung Bancak, Magetan.

Pada prasasti marmer makam itu terdapat kalimat:

"๐‘ฒ๐‘ท๐‘จ๐‘ฏ (๐‘ฒ๐’‚๐’๐’‹๐’†๐’๐’ˆ ๐‘ท๐’‚๐’๐’ˆ๐’†๐’“๐’‚๐’ ๐‘จ๐’“๐’Š๐’ ๐‘จ๐’…๐’Š๐’‘๐’‚๐’•๐’Š) ๐‘น๐’๐’๐’ˆ๐’ˆ๐’ ๐‘ท๐’“๐’‚๐’˜๐’Š๐’“๐’๐’…๐’Š๐’“๐’‹๐’ ๐‘ฐ๐‘ฐ๐‘ฐ, ๐‘จ๐’…๐’Š๐’‘๐’‚๐’•๐’Š ๐‘ด๐’‚๐’๐’”๐’‘๐’‚๐’•๐’Š ๐‘ด๐’‚๐’…๐’Š๐’–๐’ ๐’Œ๐’† ๐‘ฐ๐‘ฐ๐‘ฐ, ๐’…๐’Š๐’‰๐’–๐’Œ๐’–๐’Ž ๐’Ž๐’‚๐’•๐’Š ๐’”๐’†๐’ƒ๐’‚๐’ˆ๐’‚๐’Š ๐’‘๐’†๐’Ž๐’ƒ๐’†๐’“๐’๐’๐’•๐’‚๐’Œ ๐’Ž๐’†๐’๐’‚๐’˜๐’‚๐’ ๐’‘๐’†๐’๐’‹๐’‚๐’‹๐’‚๐’‰๐’‚๐’ ๐‘ฉ๐’†๐’๐’‚๐’๐’…๐’‚ ๐’…๐’‚๐’ ๐’…๐’Š๐’Ž๐’‚๐’Œ๐’‚๐’Ž๐’Œ๐’‚๐’ ๐’…๐’Š ๐’Ž๐’‚๐’Œ๐’‚๐’Ž ๐’‘๐’†๐’Ž๐’ƒ๐’†๐’“๐’๐’๐’•๐’‚๐’Œ ๐‘ฉ๐’‚๐’๐’š๐’–๐’”๐’–๐’Ž๐’–๐’“๐’–๐’‘ ๐‘ป๐’‰. ๐Ÿ๐Ÿ–๐Ÿ๐ŸŽ, ๐’…๐’Š๐’๐’š๐’‚๐’•๐’‚๐’Œ๐’‚๐’ ๐’”๐’†๐’ƒ๐’‚๐’ˆ๐’‚๐’Š '๐’‘๐’†๐’‹๐’–๐’‚๐’๐’ˆ ๐’‘๐’†๐’“๐’Š๐’๐’•๐’Š๐’” ๐’Ž๐’†๐’๐’‚๐’˜๐’‚๐’ ๐‘ฉ๐’†๐’๐’‚๐’๐’…๐’‚' ๐’๐’๐’†๐’‰ ๐‘บ๐’“๐’Š ๐‘บ๐’–๐’๐’•๐’‚๐’ ๐‘ฏ๐‘ฉ ๐‘ฐ๐‘ฟ ๐‘ป๐’‰. ๐Ÿ๐Ÿ—๐Ÿ“๐Ÿ• ๐’…๐’‚๐’ ๐’…๐’Š๐’Ž๐’‚๐’Œ๐’‚๐’Ž๐’Œ๐’‚๐’ ๐’Œ๐’†๐’Ž๐’ƒ๐’‚๐’๐’Š ๐’…๐’Š ๐‘ฎ๐’Š๐’“๐’Š๐’‘๐’–๐’“๐’๐’, ๐’Ž๐’‚๐’Œ๐’‚๐’Ž ๐’‘๐’†๐’“๐’Ž๐’‚๐’Š๐’”๐’–๐’“๐’Š๐’๐’š๐’‚ ๐’‘๐’–๐’•๐’“๐’Š ๐‘ฏ๐‘ฉ ๐‘ฐ๐‘ฐ, ๐‘ฎ๐‘ฉ๐‘น๐‘จ๐’š [๐‘ฎ๐’–๐’”๐’•๐’Š ๐‘ฉ๐’†๐’๐’…๐’๐’“๐’ ๐‘น๐’‚๐’…๐’†๐’ ๐‘จ๐’š๐’–] ๐‘ด๐’‚๐’…๐’๐’†๐’“๐’†๐’•๐’๐’."


(Kolom Peter Carey dalam buku "Hamengku Buwono IX" Pengorbanan Sang Pembela Republik)



PESAN KEMATIAN PADA BINGKAI KACA (Catatan Lawrence Blair di Maluku)

Bersama adiknya, Lorne, Lawrence Blair mencoba mengikuti jejak pendahulunya Alfred Russel Wallace menjelajah Nusantara yang dilakukan seabad sebelumnya.

Mereka berdua mencoba membuat film dokumenter mengenai Nusantara yang kemudian dibukukan dengan judul "Ring of Fire. An Indonesian Odyssey"

Dalam catatannya Lawrence mengisahkan:

Meninggalkan Makassar mereka berlayar kearah timur dengan kapal pinisi Bugis. Tujuannya adalah menemukan Burung Cendrawasih kuning besar. 

Sebelum itu mereka sempat untuk mampir ke Banda, Maluku.

Lawrence kembali mencatat:

Dengan mendayung sampan ke pantai mereka mengunjungi sang Bupati, pejabat pemerintahan setempat. Tuan rumah mereka dapati sedang bermain tenis meja di aula pesta yang menggaungkan gema di bekas kediaman gubernur kolonial. Orang menyebut bangunan yang dibangun pada tahun 1622 itu dengan 'Istana Mini'

Ada yang menarik dari istana tersebut yaitu pesan bunuh diri yang diguratkan dengan cincin pada salah satu bingkai jendelanya.

Pesan itu ditulis oleh Charles Rumpley, Gubernur Prancis terakhir di pulau Banda.

Pesan itu berbunyi:

"๐‘ธ๐’–๐’‚๐’๐’… ๐’—๐’Š๐’†๐’๐’…๐’“๐’‚ ๐’•'๐’Š๐’ ๐’๐’† ๐’•๐’†๐’Ž๐’‘๐’” ๐’’๐’–๐’† ๐’‡๐’๐’“๐’Ž๐’†๐’“๐’‚ ๐’Ž๐’๐’ ๐’ƒ๐’๐’๐’‰๐’†๐’–๐’“?

๐‘ธ๐’–๐’‚๐’๐’… ๐’‡๐’“๐’‚๐’‘๐’‘๐’†๐’“๐’‚ ๐’๐’‚ ๐’„๐’๐’๐’„๐’‰๐’† ๐’’๐’–๐’Š ๐’—๐’‚ ๐’”๐’๐’๐’๐’†๐’“ ๐’'๐’‰๐’†๐’–๐’“๐’†,

๐‘ณ๐’† ๐’Ž๐’๐’Ž๐’†๐’๐’• ๐’’๐’–๐’† ๐’‹๐’† ๐’“๐’†๐’—๐’†๐’“๐’‚๐’Š ๐’๐’†๐’” ๐’ƒ๐’๐’“๐’…๐’” ๐’…๐’† ๐’Ž๐’‚ ๐‘ท๐’‚๐’•๐’“๐’Š๐’†,

๐‘ณ๐’† ๐’”๐’๐’Š๐’ ๐’…๐’† ๐’Ž๐’‚ ๐’‡๐’‚๐’Ž๐’Š๐’๐’๐’† ๐’’๐’–๐’† ๐’‹'๐’‚๐’Š๐’Ž๐’† ๐’†๐’• ๐’’๐’–๐’† ๐’‹๐’† ๐’ƒ๐’†๐’๐’Š๐’”?"


("Kapankah datang waktu untuk kebahagiaanku?

Ketika lonceng menghantam waktu,

Ketika kulihat tepian tanah airku,

Menjaga keluargaku yang kucintai dan berkati?")


Catatan itu akan nampak bila kita memusatkan pandangan melawan pantulan sinar, seperti mengamati lembaran bunga es di bawah mikroskop.

Setelah decit terakhir cincin berlian yang dikenakan berhenti pada akhir kalimat, pegawai yang bertugas untuk mengurus administrasi dan distribusi Pala Se-Kepulauan Banda itu mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri pada salah satu lampu gantung diruangan tersebut.

Pada saat keputusasaannya memuncak, Rumpley tak terhibur oleh sekelilingnya. Ia sendiri gagal beradaptasi, melepaskan dirinya dari kenangan masa lalunya, jauh dari orang yang dicintai menjadi perlambang seluruh kesepian manusia sehingga jiwanya meledak[]


Sumber:

1.Buku "Ring of Fire" Indonesia dalam Lingkaran Api


2.https://www.google.com/amp/s/www.cnnindonesia.com/nasional/20220803230941-20-830021/decit-cincin-di-istana-voc-dan-sajak-kematian-dari-banda-neira/amp


Keterangan foto: Kata-kata yang ditulis pada 1 September tahun 1831 itu, diukir diatas kaca jendela menggunakan cincin berlian di jendela Istana Mini, Banda Neira, Maluku Tengah.



TAKLUKNYA DIPONEGORO

Lukisan berjudul "De onderwerping van Diepo Negoro aan luitenant-generaal Hendrik Merkus Baron de Kock, 28 maart 1830" (Takluknya Diepo Negoro ke Letnan Jenderal Hendrik Merkus Baron de Kock, 28 Maret 1830) itu dilukis oleh Pelukis Belanda Nicolaas Pieneman pada 1835.

Fokus utama lukisan karya Pieneman adalah Pangeran Diponegoro dan Jenderal H.M. de Kock. Hal ini secara gamblang diungkapkan Pieneman melalui posisi mereka yang berada di bagian tengah lukisan, terutama lewat sorotan sinar matahari yang mengarah pada keduanya. Laiknya pertunjukan drama di atas panggung, lingkungan di sekelilingnya dibiarkan gelap, lampu sorot mengarah pada tokoh atau adegan agar menjadi fokus perhatian penonton.


Adegan ini menampilkan Diponegoro berdiri dengan kedua tangan terkulai di sisi tubuhnya. la memandang hampa ke arah jalan yang dilingkungi pasukan tentara Belanda bersenjata tombak dalam sikap siaga. Kereta kuda agak jauh di sebelah kanannya dalam posisi siap melintasi jalan tersebut. Sedangkan, de Kock berdiri berkacak pinggang sambil tangan kirinya menunjuk ke arah kereta kuda. Seorang bawahannya tampak bergegas mendekati sang Jenderal yang berdiri bertolak pinggang menunjuk kereta tahanan seolah memerintahkan penahanan Pangeran Diponegoro.

Sang pelukis membuat suasana yang penuh kekalahan dan kepasrahan sekaligus pesta kemenangan dalam senyap.

Pada latar belakang nampak bendera Belanda berkibar dengan gagah, sementara didepan nampak pengikut pangeran Diponegoro menunduk pasrah dan beberapa senjata yang tergeletak di tanah.

Pose Diponegoro yang membelakangi De Kock juga mengindikasikan tidak terjadi komunikasi dua arah.[]


Sumber

1.Buku "Raden Saleh" Perlawanan Simbolik Seorang Inlander


2.https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/stori/read/2022/09/03/090000079/dua-versi-lukisan-penangkapan-diponegoro


Keterangan foto: lukisan Takluknya Diponegoro karya Nicolaas Pieneman



OPERASI BADAR

Sabtu, pukul 14.00, 6 Oktober 1973 Mesir membuka serangan Operasi Badar dengan serangan udara dan gempuran Artileri.

Pesawat MiG Mesir segera melakukan pemboman atas kubu Israel di garis Bar Lev, kubu pertahanan yang dibuat Israel sepanjang terusan Suez.

Israel pernah sesumbar bahwa garis Bar Lev tidak mungkin ditembus lawan.

Faktanya lima divisi Mesir menyeberangi Terusan dan membangun sebuah landas serbu yang saling berhubungan di sepanjang front. Setiap lima belas menit suatu gelombang pasukan menyeberang dan pada pukul 15.15, tentara Mesir telah menempatkan 20 batalyon infanteri800 perwira dan 13.500 prajurit, lengkap dengan senjatanya.


Para penjaga Garis Bar Lev benar-benar terkejut oleh serangan tersebut. Tidak seorang pun ingin memercayai bahwa suatu serangan akan terjadi saat mereka khusyu melakukan "Hari Penebusan Dosa" (Yom Kippur). Mereka berpikir hanya orang tidak bertuhan yang mau menyerang selama sebuah hari perayaan keagamaan.


Namun pemboman segera membuat semua orang berlarian ke pos masing-masing dan pesan telepon maupun pesan radio segera mengalir ke markas besar Sinai Israel di Tasa. 

 

Pukul 15.30, Kubu pertama Israel jatuh disusul 14 yang lain dalam waktu enam jam.


Delapan belas jam setelah dimulainya Operasi Badar, Mesir telah berhasil menyeberangkan 90.000 prajurit, 850 tank dan 11.000 kendaraan ke tepi timur terusan. Dalam waktu 24 jam, jumlah keseluruhannya telah mencapai 100.000 prajurit, 1.000 tank dan 13.500 kendaraan lainnya. Menghadapi keadaan itu, Mayor Jenderal Avraham Mandler, Komandan pasukan lapis baja Israel didesak oleh Kolonel Dan, komandan brigade yang berada paling selatan, untuk membuat keputusan seperti apakah tank-tank, yang saat itu hanya dimiliki sebanyak 23 buah oleh Dan untuk bertahan atau mengundurkan diri 

 tumpuan-tumpuan pasukan Mesir, atau meninggalkan pos dan mengundurkan diri. Mandler akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pos-pos pertahanan sebisa mungkin dan mengerahkan seluruh kekuatan untuk membendung kubu-kubu pertahanan Mesir yang menganjur.[]


Sumber:

1.Buku "Perang Demi Perdamaian" Kisah Perang Yom Kippur 1973


2.https://en.m.wikipedia.org/wiki/Albert_Mandler


3.https://www.merdeka.com/histori/jebolnya-garis-pertahanan-bar-lev-yang-disombongkan-israel-tak-bisa-ditembus-36648-mvk.html?screen=4


4.https://www.icp.org/browse/archive/objects/prime-minister-golda-meir-and-army-chief-of-staff-haim-bar-lev-in-an-air


Keterangan foto: Terpukul oleh jatuhnya Garis Bar Lev, Perdana Menteri Israel Golda Meir merenung untuk mengatasi ancaman musuh saat terbang untuk meninjau garis depan



KERUSUHAN SEPAK BOLA DI PERU

 

Stadion Nasional Lima, Peru, 14 Mei 1964.

Nyaris sebanyak empat puluh lima ribu orang penggemar sepak bola memenuhi stadion ini untuk menyaksikan Peru bertanding melawan Argentina dalam pertandingan kualifikasi bagi Olimpiade.Sepanjang jalannya permainan, para penonton memang gegap gempita dan liar, tetapi relatif masih tertata, dan yang terpenting, mereka tetap berada di bangku mereka.

Permainan tinggal tersisa dua menit, dan Argentina memimpin, satu-nol.

Hampir seluruhnya penonton terdiri dari penggemar Peru, maka tidak mengherankan bahwa keadaan yang berkembang memang sangat tegang.

Tiba-tiba pemain sayap Peru yang cukup populer, Lobaton, mencetak gol dan para penonton pun menggila. Kemudian permainan menjadi seri, satu sama, dan tampaknya perpanjangan waktu sudah bisa dipastikan terjadi.

Namun kemudian sang wasit, R. Angel Pazos, dari Uruguay membatalkan gol Peru dengan dalih tim Peru melakukan pelanggaran, sehingga para penonton meledak kemarahannya. Kemarahan ini bisa terdengar dalam teriakan dan hentakan kaki, dan Pazos menghentikan permainan, memerintahkan para pemain masuk ke ruang ganti demi keselamatan mereka.

Dengan keluarnya para pemain dan permainan yang telah berhenti, seluruh kemarahan yang tertahan dari para penonton tampaknya telah surut. Matia Rojas, seorang penduduk setempat yang berbadan dan gemuk, dijuluki sebagai Bom, menghambur masuk ke lapangan dan menyerang Angel Pazos. Empat puluh perwira polisi dan dua ekor anjing penyerang mengepung Rojas dan memukulinya hingga menyerah, disaksikan penuh oleh puluhan ribu penonton 

Saat si Bom diseret, para penonton merobohkan pagar yang mengelilingi tribun, dan menghambur masuk ke lapangan. Orang yang berada di bagian bawah kerumunan dan tidak bisa bergerak cukup cepat atau keluar dari jalur telah tertindih hingga tewas oleh para maniak olahraga ini.

Orang-orang berada pada puncak demam mereka, kemudian mereka menyalakan api di tribun, memecahkan setiap kaca jendela dalam stadion ini. Polisi yang menjadi olok-olok dan kalah banyak jumlahnya menjadi ketakutan dan bereaksi dengan menembakkan granat gas air mata tinggi-tinggi ke tribun, dan menembakkan peluru asli ke arah bagian kepala gerombolan. Tindakan ini tidak saja memperbesar kemarahan ribuan penggemar, tetapi juga mengakibatkan kepanikan, sehingga semakin banyak orang tertindih atau mengalami sesak napas hingga tewas dalam gerombolan sangat besar ini.

Ribuan orang menghambur ke pintu besi, menuju ke jalan keluar stadion, tetapi, sebagaimana biasanya pada saat pertandingan, pintu-pintu ini semuanya terkunci. Seorang anak perempuan berusia delapan belas bulan tertindih hingga mati saat ayahnya kehilangan pegangan terhadap putrinya ini. Yang lain mati kesulitan bernapas akibat tebalnya asap gas air mata. 

Pintu-pintu akhirnya pecah terbuka dan kerumunan berhamburan ke jalanan kota Lima. Ribuan orang kemudian berbaris menuju tinggal presiden Peru, Fernando Belaunde, menuntut agar pertandingan ini dinyatakan berakhir seri secara resmi. Orang-orang yang mati, terluka, keganasan menakutkan, api yang mengamuk, dan orang-orang yang sesak napas setengah mati, hanya sedikit berarti dibandingkan gerombolan gila yang terpusat pada satu hal saja: tim sepak bola Peru tidak boleh dianggap kalah dalam pertandingan yang baru saja berlangsung.

Gerombolan tadi terus mengamuk di seluruh kota Lima sepanjang malam itu, dan pada hari berikutnya, banyak yang kembali ke stadion untuk merusaknya lebih jauh lagi, dan mencuri piala-piala yang dipajang.

Pemerintah Peru mengumumkan keadaan darurat bagi seluruh negeri, dan kamar-kamar mayat serta rumah-rumah sakit di Lima dipadati oleh tubuh-tubuh orang mati, dan mereka yang luka-luka. Mayat-mayat dibaringkan di halaman rumput di luar rumah sakit Lima untuk diidentifikasi oleh keluarganya.

Totalnya sebanyak 318 orang telah tewas pada hari itu, dan lebih dari 500 orang lainnya mengalami luka-luka, beberapa di antaranya serius. 

Pemerintah menerapkan undang-undang penyediaan dana bantuan bagi para janda, dan periode berkabung resmi selama satu minggu segera diumumkan setelah bencana ini. Lima puluh orang telah ditahan karena mengacau dan merampok (beberapa di antaranya bahkan merampok mayat).

Kerusuhan sepak bola di Lima bukanlah sekadar bencana olahraga yang mengakibatkan banyak kematian. Ini adalah bencana olahraga terburuksepanjang masa.[]


Dari buku

100 BENCANA TERBESAR SEPANJANG MASA


Keterangan foto: Kondisi Stadion Lima usai musibah 14 Mei 1964

KONINKLIJK INSTITUUT VOOR DE MARINE

Pada tanggal 10 November 1951, Presiden Sukarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI meresmikan pendirian IAL (Institut Angkatan Laut) di Morokrembangan Surabaya Pada saat itu dibutuhkan sejumlah 1.000 perwira Angkatan Laut dalam waktu sesingkat mungkin.

Angkatan Laut melaksanakan dua program pendidikan Calon Perwira. 

Program pertama, pengiriman siswa ke Koninklijk Instituut voor de Marine (KIM) di Negeri Belanda pada tahun 1949 oleh Nederlands-Indische Civiele Administratie dan sejak 1950 oleh pemerintah RIS/RI. Program kedua, di dalam negeri, dengan pendirian IAL.

Den Hender, tempat dimana KIM berada mendapat nama julukan het Gesticht (tempat sejumlah manusia hidup diisolasi, tertekan, dan serba kekurangan). Julukan tersebut tidak terlalu mengherankan. Di sebelah barat terdapat laut Utara yang ganas dan dingin saat musim dingin. Di sebelah timur terdapat perairan. Di Utara terdapat deretan pulau pasir datar

Dengan kondisi geografis seperti itu tidak ada pusat keramaian untuk hiburan, perkantoran, industri, pendidikan, kecuali pelabuhan sebagai pangkalan AL, markas AL, galangan kapal AL, KIM serta sejumlah sekolah kejuruan AL dan satu sekolah pelayaran sipil. Tidak mengherankan jika kota tersebut kurang menarik untuk dijadikan tempat tinggal kecuali bagi anggota AL Belanda karena penugasan, sehingga jumlah penduduknya selalu terbatas. Ketempat itulah pada bulan pertama musim gugur tahun 1950, 23 pemuda datang untuk menjadi Adelborst (kadet Angkatan Laut) di KIM.

Gedung utama kompleks KIM disebut Het Oude Gebouw (Gedung tua). Gedung berlantai dua, yang peletakan batu pertamanya pada 20 Mei 1869 dan digunakan setahun kemudian, ini terletak di tengah diapit ruang belajar pada sebelah kanan dan sebelah kirinya terdapat markas Komandan Angkatan AL yang dipimpin oleh seorang Laksamana Pertama.

Di depan gedung utama berdiri tiang bekas kapal meriam kuno lengkap dengan tali temalinya didampingi sepasang meriam kuno. Tiang ini diambil dari reruntuhan kapal meriam yang diledakkan dalam suatu pertempuran laut. Daripada menyerah kepada musuh, Van Speyk sengaja meledakkan kapalnya dan ikut gugur.

Van Speyk juga digunakan untuk nama sebuah ruangan di KIM (Van Speyk Zaal). Bahkan namanya juga disebut dalam sebuah bait Hymne Korps Adelborsten.[]


Dari buku

"DAN TOCH MAAR" Apa Boleh Buat, Maju Terus!

Keterangan foto: Gedung Pusat Koninklijk Instituut voor de Marine, Del Helder



DILARANG MENGINAP

 

Saat bepergian ke Batavia Oei Tiong Ham ingin menginap di Hotel des Indes yang mewah di Molenvliet West (sekarang Jalam Gajahmada). Karena adanya diskriminasi yang masih keras pada masa itu, Oei Tiong Ham ditolak, tidak diperbolehkan menyewa kamar di Hotel Belanda itu, sebab ia bukan orang kulit putih. Oei Tiong Ham yang merasa terhina dan penasaran oleh perlakuan tersebut, dengan sengaja menggunakan kemampuannya untuk melakukan pembalasan. Melalui kantor makelaar ia mengumpulkan saham-saham Hotel des Indes sampai ia mendapat majority sebagai pemegang saham, setelah itu ia mengadakan rapat luar biasa pemegang saham, rapat itu khususnya membicarakan persoalan karyawan hotel yang telah melakukan kesalahan dalam penolakan dirinya sebagai tamu. Demikianlah, siapa-siapa yang dijatuhi "vonis" oleh rapat kemudian dilepas dari pekerjaannya.

Setelah merasa puas melakukan pembersihan personalia Hotel des Indes, Mr. Oei yang berpendirian praktis menganggap saham-sahamnya sudah tidak berguna lagi dan dijual kembalilah surat-surat saham itu.[]


Sumber

Buku "OEI TIONG HAM" Raja Gula dari Semarang


OSKAR SCHINDLER DARI BRITANIA

Lahir dari keturunan Yahudi, Nicholas Winton adalah seorang yang bekerja di Behrens Bank dan Wasserman Bank di Berlin.

Tahun 1931, ia pindah ke Prancis dan dipekerjakan pada Banque Nationale de Crรฉdit di Paris. Lalu kembali ke London sebagai broker di London Stock Exchange.

Meski bekerja di sektor keuangan. Winton bergabung dengan politik sebagai sosialis dan sangat aktif dalam protes terhadap Nazi Jerman.


Tahun 1938,

Saat akan ke Swiss untuk bermain ski, Nicholas Winton mendapat kabar terjadi peristiwa yang disebut dengan Kristallnacht (malam pembantaian terhadap orang Yahudi).

Pada saat itu terjadi serangan massal yang dilakukan terhadap bangsa Yahudi di seluruh Jerman. Rumah, rumah sakit, dan sekolah Yahudi dijarah serta dibakar. Lebih dari 1.000 gereja Yahudi dan 7.000 usaha dihancurkan. Hampir 100 orang dibunuh dan 30.000 orang ditangkap serta dikirim ke kamp konsentrasi. 

Cekoslovakia akan menjadi sasaran genosida berikut. Nicholas segera menghubungi temannya yang ada di Praha untuk melakukan penyelamatan.

Pemerintah Inggris mengizinkan pengungsian terhadap anak-anak Yahudi tersebut dengan syarat setiap anak dipasangkan dengan orang tua angkat sampai mereka berumur 18 tahun. Setiap anak harus mempunyai jaminan sebesar 50 pound.

Winton lalu mendirikan kantor di ruang makan hotelnya di Praha dan membuat daftar berisi ratusan anak yang akan dia bantu melarikan diri dari Nazi.

Kemudian dia kembali ke Inggris untuk menggalang dana dan mengatur tempat tinggal dan mengatur pelarian 669 anak ke Inggris menyusul orang tua mereka yang dibawa ke kamp konsentrasi.

Nicholas Winton berusaha melupakan dan tidak pernah menyinggung tentang penyelamatan pengungsi Yahudi ini kepada siapa-siapa karena dia frustrasi karena tidak bisa berbuat lebih banyak sampai istrinya menemukan sebuah scrapbook 

(buku kliping) yang didalamnya berisi ratusan nama dan alamat di loteng rumah mereka.


Limapuluh tahun kemudian,

Pada suatu acara televisi, Nicholas diundang diperkenalkan dengan seorang wanita di sebelahnya oleh pembawa acara. Wanita itu, yang kini berusia lima puluhan, adalah salah satu anak yang diselamatkan Nicholas. Wanita itu mengucapkan terima kasih berulang kali. Dia mencium tangan Nicholas dan mengucapkan banyak terimakasih. Nicholas harus menghapus air matanya karena kebaikan yang dia lakukan menjadi nyata baginya dari sisi kemanusiaan. Pembawa acara lalu bertanya apakah ada orang lain di antara hadirin yang berutang nyawa pada Nicholas Winton. Semua hadirin berdiri. Orang-orang yang telah mempunyai keluarga sendiri: istri, suami, anak, cucu.

Nicholas Winton tidak terlalu yakin apa yang terjadi. Dia melihat ke satu sisi, sisi lain, lalu ke belakang. Lalu dia berdiri dan melihat sekelilingnya.

Seluruh hadirin, setiap orang di studio TV tersebut, berdiri, tersenyum,dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Barulah kemudian Nicholas Winton akhirnya memahaminya bahwa apa yang dilakukannya adalah sangat berarti bagi mereka. Bagi sebagian besar anak-anak ini adalah pertama kalinya mereka mengetahui siapa yang telah menyelamatkan mereka, dan merasa itu adalah kehormatan dan hak istimewa untuk bertatap muka dengan penyelamat mereka []


Sumber: 

1.Buku

"SATU + SATU = TIGA" Belajar Kreatif Dari Karya-karya Masterpiece Dunia


2.https://www.hmd.org.uk/resource/sir-nicholas-winton/


3.https://id.celeb-true.com/nicholas-winton-humanitarian-from-britain-helped-children-escape

Keterangan foto: Nicholas Winton saat dipertemukan dengan anak-anak yang pernah diselamatkan



GEMPA BUMI BESAR KANTO

 

Satu menit sebelum tengah hari, pada hari Sabtu tanggal 1 September 1923 dataran Kanto yang terbentang antara Tokyo dan Yokohama diguncang gempa. Gempa bumi ini diperkirakan berkekuatan antara 7,9 hingga 8,3 Skala Richter, mengandung kekuatan yang lebih besar dibanding ledakan nuklir sebanyak satu megaton.

Tak lama setelah gempa juga timbul tsunami yang berketinggian 9- 12 meter yang membuat beberapa orang tersapu.

Selama lebih dari tiga hari berikutnya, lebih dari 1.700 gempa bumi telah menghantam area ini, dan Tokyo Imperial University telah mencatat 237 kali gempa bumi bisa dirasakan oleh penduduk Tokyo dan Yokohama, dan orang-orang yang berada di wilayah di antara kedua kota ini.

Gempa bumi awal telah menghancurkan 75 persen gedung-gedung Tokyo. Sekitar 20 persen gedung-gedung Yokohama juga dihancurkan. Di Di pantai Yokohama sendiri terdapat tangki penyimpanan minyak yang sangat besar. Dan guncangan gempa tersebut membuat tangki itu terbakar dengan hebat.

tornado api yang yang ditimbulkan telah membuat penduduk Jepang merasa seolah-olah gerbang utama neraka telah dibuka. Sejumlah orang mencoba untuk melarikan diri dari api. Juga terjadi angin yang mampu mengangkat tubuh orang dari tanah dan menjatuhkannya ke dalam api. Lebih dari 35 ribu orang berkumpul di sebuah taman di samping Sungai Sumida, karena mereka berkeyakinan bahwa api tidak mampu menyerang mereka di wilayah terbuka, di mana tidak ada gedung yang bisa dibakar, dan di mana sungai ada di dekat mereka.

Dugaan mereka salah, dan lautan api telah menyerang mereka, menewaskan mereka semua dalam badai api yang sangat besar dan secepat kilat ini. Setelah api pergi, tetap terdapat gerombolan berjumlah sangat banyak yang berkobar, terdiri dari orang-orang yang terbakar hingga tewas, yang telah berkerumun sedemikian erat, sehingga semuanya mati dalam posisi berdiri.

Api mengganas melewati Tokyo dan Yokohama selama lebih dari dua hari, menghancurkan sarana komunikasi, persediaan air, fasilitas listrik, dan cadangan makanan 

Pada saat api telah dipadamkan dan getaran berhenti, hampir 200.000 orang luka-luka, 500.000 orang kehilangan tempat tinggal, dan 80.000 umah telah hancur. Bahkan mungkin lebih dari 200.000 orang telah tewas.

Akibat dari Gempa Bumi Besar Kanto, terjadi perubahan geologis yang permanen. Di tengah-tengah Teluk Sagami (pusat gempa), dasar laut telah menurun ketinggiannya antara 300 hingga 600 kaki (antara 90-180 m) akibat gempa bumi. Namun demikian, di ujung utara teluk ini, dasar laut telah naik setinggi 750 kaki (230 m).


Sumber: 

1.Buku "100 Bencana Besar Sepanjang Masa"


2.https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gempa_Besar_Kant%C5%8D_1923


2.https://www.kompas.com/tren/image/2022/09/01/073000865/hari-ini-dalam-sejarah--gempa-great-kanto-menewaskan-140.000-orang?page=1&_gl=1*gg3n8h*_ga*YW1wLVRQSDlYeTJrbFE0bE50SHd6Y3FLNnFHNzFQd2M4SzdqRnFSZzZMZmc0c05NQTVncTNhZlZINXQweWhSakhWdEI.*_ga_77DJNQ0227*MTY5OTA3NDczOC4xLjAuMTY5OTA3NDczOC4wLjAuMA..*_ga_7KGEC8EBBM*MTY5OTA3NDczOC4xLjAuMTY5OTA3NDczOC4wLjAuMA..


Keterangan foto: dataran Kanto usai gempa bumi besar

HIDUP DIANTARA SUKU KAYU

Asmat berarti 'pohon' atau 'kayu'.  Mungkin karena sebutan itu suku Asmat terkenal dengan keunikannya dalam mengukir. Obyek yang cukup menarik dari suku Asmat adalah tiang berukir atau 'bis'

Tigabelas tahun sesudah misteri menghilangnya Michael Rockefeller di Papua, Lorne Blair bersama dua orang kawannya datang ke Agats untuk selanjutnya akan ke Otjanep.

Michael dikabarkan hilang saat akan mengambil 'bis' yang telah dipesannya dari suku Asmat di Otjanep.

Dalam catatannya, adik dari Lawrence Blair yang bersama menulis buku "Ring of Fire. An Indonesian Odyssey" mengisahkan berikut:

Menggunakan kapal tua milik pos misionaris, mereka menyusuri pesisir Cassuarina menuju Basiem, pos misionaris terdekat ke Otjanep, dan tujuan asli Rockefeller sewaktu mesin perahunya mogok.

Untuk mencapai tempat tujuan, mereka harus menunggu sampai orang-orang Otjanep datang ke Basiem untuk berniaga agar memperoleh tembakau.

Hari berikutnya, lima sampan mendekati Basiem melalui sungai, disarati oleh pejuang-pejuang yang berdiri dan berdendang ganas sambil mendorong sampan menggunakan dayung panjang mereka. Hiasan kepala dari bulu berkibaran dan sinar matahari terpantul pada pisau tulang dan hiasan hidung dari cangkang yang mereka kenakan

Tak lama kemudian mereka bertiga sudah duduk memangku perlengkapan-perlengkapan film dalam sampan kecil yang bergoyang-goyang dan meluncur melalui perairan dimana Michael menjemput ajal.

Rimba merapat di sekeliling mereka sewaktu memasuki sungai Etwa yang sempit ke arah Otjanep. Seekor Kakatua Raja- nuri hitam besar dengan paruh berwarna jingga gelap-mondar mandir dengan berisik di atas kepala, sementara panggilan serupa genderang yang dikeluarkan burung Kasuari, yang sebesar burung unta, bergema menembus sesemakan. Jauh di depan, sesuatu meluncur tanpa suara ke dalam sungai. Rupanya seekor biawak sepanjang 1,2 meter  yang segera ditangkap oleh pendayung sampan.

Tiba di Otjanep mereka disambut dengan sahut-sahutan meriah sangkakala perang dari bambu. Para penduduk desa mengenakan pakaian yang kotor sekali-celana pendek yang ditahan dengan rotan, kaus oblong compang-camping yang dikenakan sebagai celana, celana yang dikenakan sebagai kaus. Rupanya mereka tidak mengenakan pakaian tradisional untuk menyambut rombongan.

Melihat sambutan itu, sang tamu segera menanggalkan semua pakaiannya. Sejenak tuan rumah terdiam, tapi segera disambut dengan pekikan perang yang ramai sambil melepas semua pakaiannya. Dan selama tinggal dengan suku Asmat mereka hanya mengenakan 'bot asmat', lapisan lumpur kering yang melapisi kaki sampai diatas lutut saat pasang surut.

Mereka tinggal di Leu (rumah panjang yang terdiri dari beberapa keluarga) ditepian sungai pasang Etwa.

Mereka langsung terjerumus ke dalam rutinitas harian Asmat dan terkejut mendapati betapa nyaman hidup di rawa-rawa. Suku Asmat adalah tuan rumah yang sangat penuh perhatian, apalagi dengan dibawakannya sedikit hadiah berharga dalam wujud tembakau hitam kuat yang mereka suka, juga pisau dan kait ikan.

Oleh karena tidak punya peralatan memasak, orang-orang Otjanep membakar, memanggang, atau mengukus makanan mereka dalam dedaunan yang diletakkan langsung di atas bara api. "Makanan pokok' mereka adalah sagu, pati seperti kapur yang diambil dari sejenis palem, tidak bergizi maupun lezat, namun cocok sekali untuk mendampingi sajian kecil berupa beraneka ragam makanan berprotein tinggi yang diambil langsung dari lingkungan. Mereka menyantap ikan, kerang-kerangan, biawak, babi hutan, marsupialia pohon, dan berbagai hidangan lain yang lebih langka, termasuk semacam plankton yang dikukus di daun, yang menurut orang barat merupakan salah satu hidangan paling lezat yang pernah mereka santap.


Sumber:

1. Buku "Ring of Fire" Indonesia dalam Lingkaran Api


2.https://tempodoeloezamandoeloe.blogspot.com/2023/04/misteri-hilangnya-michael-rockefeller.html?m=1


Keterangan foto: Lorne Blair sedang membuat foto suku Asmat dengan seorang kawannya



KRAWANG- JAKARTA EMPAT JAM

 ๐‘ผ๐’”๐’‚๐’Š ๐’Ž๐’†๐’๐’‚๐’Œ๐’–๐’Œ๐’‚๐’ ๐’‘๐’†๐’๐’…๐’‚๐’Œ๐’Š๐’‚๐’ ๐’ˆ๐’–๐’๐’–๐’๐’ˆ ๐‘บ๐’๐’‚๐’Ž๐’†๐’•, ๐‘ฉ๐’†๐’“๐’”๐’‚๐’Ž๐’‚ ๐’“๐’๐’Ž๐’ƒ๐’๐’๐’ˆ๐’‚๐’๐’๐’š๐’‚ ๐‘บ๐’๐’† ๐‘ฏ๐’๐’Œ-๐’ˆ๐’Š๐’† ๐’Ž๐’†๐’๐’ˆ๐’Š๐’๐’‚๐’‘ ๐’…๐’Š ๐‘ช๐’Š๐’“๐’†๐’ƒ๐’๐’.

๐‘ฒ๐’†๐’†๐’”๐’๐’Œ๐’‚๐’ ๐’‰๐’‚๐’“๐’Š๐’๐’š๐’‚ ๐Ÿ๐Ÿ ๐‘จ๐’ˆ๐’–๐’”๐’•๐’–๐’” ๐Ÿ9๐Ÿ”๐Ÿ• ๐’‘๐’‚๐’ˆ๐’Š-๐’‘๐’‚๐’ˆ๐’Š ๐’”๐’†๐’Œ๐’‚๐’๐’Š ๐’Ž๐’†๐’“๐’†๐’Œ๐’‚ ๐’Ž๐’†๐’๐’Š๐’๐’ˆ๐’ˆ๐’‚๐’๐’Œ๐’‚๐’ ๐‘ช๐’Š๐’“๐’†๐’ƒ๐’๐’ ๐’Ž๐’†๐’๐’ˆ๐’ˆ๐’–๐’๐’‚๐’Œ๐’‚๐’ ๐’Œ๐’†๐’“๐’†๐’•๐’‚ ๐’‚๐’‘๐’Š ๐’Ž๐’†๐’๐’–๐’‹๐’– ๐‘ช๐’Š๐’Œ๐’‚๐’Ž๐’‘๐’†๐’Œ ๐’–๐’๐’•๐’–๐’Œ ๐’”๐’†๐’๐’‚๐’๐’‹๐’–๐’•๐’๐’š๐’‚ ๐’ƒ๐’†๐’“๐’ˆ๐’‚๐’๐’•๐’Š ๐’…๐’†๐’๐’ˆ๐’‚๐’ ๐’Œ๐’†๐’“๐’†๐’•๐’‚ ๐’š๐’‚๐’๐’ˆ ๐’Ž๐’†๐’๐’–๐’‹๐’– ๐‘ฑ๐’‚๐’Œ๐’‚๐’“๐’•๐’‚.

๐‘ฉ๐’†๐’“๐’Š๐’Œ๐’–๐’• ๐’„๐’‚๐’•๐’‚๐’•๐’‚๐’ ๐‘บ๐’๐’† ๐‘ฏ๐’๐’Œ-๐’ˆ๐’Š๐’† ๐’š๐’‚๐’๐’ˆ ๐’…๐’Š๐’•๐’†๐’“๐’ƒ๐’Š๐’•๐’Œ๐’‚๐’ ๐’”๐’†๐’ƒ๐’–๐’๐’‚๐’ ๐’Œ๐’†๐’Ž๐’–๐’…๐’Š๐’‚๐’ ๐’‘๐’‚๐’…๐’‚ ๐’‰๐’‚๐’“๐’Š๐’‚๐’ ๐‘ฒ๐’๐’Ž๐’‘๐’‚๐’”:


Kira-kira pukul setengah dua kami sampai di Krawang. Keadaannya sepi. Tak ada penjual makanan, tidak ada gembel (yang biasanya banyak) dan pakaian para petugas KA bersih serta berdasi. Kami mulai heran, setelah setengah jam KA belum juga jalan. Beberapa orang akhirnya datang ke masinis dan bertanya. Jawabannya sungguh mengejutkan. "Kita tak boleh jalan sampai pukul lima, karena ada rombongan Paduka Presiden yang ke Jatiluhur." Dan ditambahkan pula bahwa terdapat ratusan "bapak- 

bapak" yang ikut Pak Harto. Beberapa kawan mulai mengerumuni masinis. Datang pula beberapa penumpang lain dan akhirnya menjadi obrolan-obrolan untuk melewatkan waktu.


"Memangnya negara inimilik mereka," kata salah seorang kawan dengan mendongkol. Pak Harto akan lewat pukul lima. Jarak antara Krawang-Jakarta paling lama hanya setengah jam. Tetapi sejak pukul satu semua telah ditutup. Seperti kalau Babe mau lewat saja. Para gembel dibersihkan, penjual-penjual makanan diusir. "Itu kan nipu diri sendiri."

Masinisnya diam saja dan tersenyum. "Kita cuma rakyat kecil. Kalau disuruh jalan, ya kita jalan. Disuruh tunggu, ya kita tunggu," jawaban khas dari seorang manusia yang telah patah semangatnya karena penderitaan.

Tindakan-tindakan kecil seperti ini kadang-kadang menyakitkan hati sekali. Kita semua mengerti bahwa untuk tindakan-tindakan keamanan harus ada sejumlah persiapan yang baik. Beberapa trayek KA harus ditunda. Akan tetapi menunda 4 jam padahal jalan yang mau ditempuh tinggal satu jam setengah sungguh-sungguh menjengkelkan. Sikap ala Sukarno betul-betul sangat memalukan.

Saya pribadi melihat, lebih baik Pak Harto diterima secara wajar. Biarlah beliau melihat gembel-gembel, tukang-tukang dagang, dan sisi-sisi hitam dari Indonesia. Janganlah semuanya ditutup-tutupi sehingga beliau punya kesan yang baik-baik saja tentang bangsa yang dipimpinnya. Soeharto bukan Sukarno. Dia lebih dewasa dari bekas Pemimpin Besar Revolusi kita. Makin banyak gembel, penganggur, pelacur, korupsi yang dilihatnya, makin baik.

Pukul setengah lima KA jalan lagi, karena rombongan para penggede telah lewat. Satu seperempat jam kemudian kami tiba kembali di Jakarta. Setelah 5 hari meninggalkannya, setelah melihat begitu banyak sisi lain dari negara Indonesia tercinta, setelah perjalanan yang begitu melelahkan. Semuanya akan menjadi ragi untuk diri masing-masing. Bangsa yang besar adalah bangsa yang sehat tubuhnya. Pemuda-pemuda sakitan tidak mungkin menyelesaikan tugas-tugas pembangunan. Dan untuk itulah saya selalu mau membawa rombongan mendaki gunung.


Dari buku

"Soe Hok-gie...Sekali lagi"


Keterangan foto: Presiden Soeharto saat peresmian Bendungan Jatiluhur 22 Agustus 1967



HARI TERAKHIR, SURAT TERAKHIR

Kediaman jenderal AH Nasution, Kamis 30 September 1965,

Sore itu Pak Nas sedang membereskan ruang kerjanya yang penuh barang-barang kecil usai kunjungan ke Polandia. Tak lama kemudian datang Mayjend EJ Magenda yang melaporkan keadaan di Kalimantan.

Sementara di halaman rumah Pierre Tendean, Sang Ajudan tengah mendorong-dorong sepeda Ade Irma.

Kedatangan seorang wartawan yang meminta foto pak Nas, dijanjikan esok harinya.

Sore itu juga Pierre menerima kedatangan Jusuf Razak, adik iparnya (suami Rooswidiati) yang merencanakan akan pulang bersama besok pagi.

Terhitung dari pukul 15.00 tanggal 30 September 1965 itu, Pierre sudah mengambil cuti dan bermaksud pulang ke Semarang keesokan harinya pada tanggal 1 Oktober untuk berkumpul dengan keluarganya dan merayakan ulang tahun ibundanya, Maria Elizabeth Tendean. Ulang tahun Ibu Tendean jatuh pada tanggal 30 September. Pierre tidak dapat pulang pada tanggal itu karena masih bertugas sebagai ajudan Pak Nas. Namun, Ibu Tendean tetap mengharapkan dan menunggu kedatangan anaknya untuk merayakan ulang tahunnya.

Jusuf berjanji akan menjemput Pierre pukul 06.00 keesokan harinya.

Jusuf dan Pierre menghabiskan waktu hingga petang dan bersenda gurau. Pada pertemuan itu Pierre dengan penuh semangat terus saja membahas tentang hubungannya dengan Rukmini kepada Jusuf. la mengutarakan keinginan hatinya agar semua anggota keluarga Tendean nanti dapat berkumpul bersama pada bulan Desember 1965 di Medan untuk berbagi kebahagiaan dirinya dan Rukmini. Roos juga mengungkapkan bahwa sesudah suaminya meninggalkan kediaman Jenderal Nasution pada malam hari, ada sepucuk telegram yang diantar oleh kurir, yang pada amplopnya tertulis sebuah alamat di Medan dan berbubuhkan nama Rukmini Chamim. Ini adalah surat yang diterima Pierre untuk terakhir kalinya dari Rukmini.

Takdir berkata lain, dua jam sebelum waktu yang dijanjikan oleh adik iparnya, Pierre sudah dijemput dulu oleh rombongan lain dan tidak diantar ke Semarang...[]


Sumber:

Buku "Sang Patriot" Kisah Seorang Pahlawan Revolusi


Keterangan foto: Pierre Tendean dan Rukmini Chamim



SUAMI DENGAN TIGA CINTA

1904 Nest, demikian panggilan EFE Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije dan memperoleh 5 anak, dua diantaranya laki-laki mening...