Jumat, 17 Maret 2023

KEDAHSYATAN LETUSAN TAMBORA

Pada tahun 1812, kaldera gunung Tambora mulai bergemuruh dan menghasilkan awan hitam.

Pada 5 April 1815 dilaporkan gunung Tambora dilaporkan mulai menggeram dan puncak letusannya terjadi pada 10-11 April 1815. Dimulai pada pukul 19.00,  10 April 1815 dan terus-menerus meletus hingga mengguncangkan bumi keesokan harinya pada skala 7 dari tertinggi 8 skala VEI (Volcanic Explosivity Index- indeks Eksplosivitas gunung api). Kekuatan ledakannya tercatat empat kali lebih besar dari letusan gunung Krakatau.

Berikut beberapa catatan dari berbagai tempat di Indonesia tentang letusan Tambora tersebut:


Sumanap (Sumenep) pada sore hari tanggal 10 April 1815: ledakan menjadi sangat keras, salah satu ledakan bahkan mengguncang kota, laksana tembakan meriam. Menjelang sore keesokan harinya, atmosfer begitu tebal sehingga harus menggunakan lilin pada pukul 16.00.

Pada pukul 19.00 tanggal 11, arus air surut, disusul air deras dari teluk, menyebabkan air sungai naik hingga 4 kaki dan kemudian surut kembali dalam waktu empat menit.


Baniowangie (Banyuwangi): Pada tanggal 10 April 1815 malam, ledakan semakin sering mengguncang bumi dan laut dengan kejamnya. Menjelang pagi, ledakan itu berkurang dan terus berkurang secara perlahan hingga akhirnya benar-benar berhenti pada tanggal 14 April 1815.


Fort Marlboro (Bengkulu) 11 April 1815: Suaranya terdengar oleh beberapa orang di permukiman ini pada pagi hari tanggal 11 April 1815. Beberapa pemimpin melaporkan adanya serangan senjata api yang terus-menerus sejak fajar merekah. Orang-orang dikirim untuk penyelidikan, tetapi tidak menemukan apapun. Suara yang sama juga terdengar di wilayah-wilayah Saloomah, Manna, Paddang, Moco-moco, dan wilayah lain. Seorang asing yang tinggal di teluk Semanco menulis, sebelum tanggal 11April 1815 terdengar tembakan meriam sepanjang hari.


Besookie (Besuki, Jawa timur) 11April 1815: Kami terbungkus kegelapan pada 11 April 1815 sejak pukul 16.00 sampai pukul  14.00 keesokan harinya. Tanah tertutup debu setebal 2 inci. Kejadian yang sama juga terjadi di Probolinggo dan Panarukan, terus sampai di Bangeewangee (Banyuwangi) tertutup debu setebal 20-12 inci. Lautan bahkan lebih parah akibat dari letusan tersebut. Suara letusan terdengar sampai sejauh 600-700 mil.


Grissie (Gresik, Jawa timur) 12 April 1815 pukul 09.00: Tidak ada cahaya pagi. Lapisan abu tebal di teras menutupi pintu rumah di Kradenan. Pukul 11.00 terpaksa sarapan dengan cahaya lilin, burung-burung mulai berkicau mendekati siang hari. Pukul 11.30 mulai terlihat cahaya matahari menerobos awan abu tebal. Pukul 05.00 sudah semakin terang, tetapi masih tidak bisa membaca atau menulis tanpa cahaya lilin.


Makassar tanggal 12-15 April 1815: Udara masih tipis dan berdebu, sinar matahari pun masih terhalang. Dengan sedikit dan terkadang tidak ada angin sama sekali. Pagi hari tanggal 15 April, kami berlayar dari Makassar dengan sedikit angin. Di sepanjang pantai, pasir terlihat bercampur dengan batu-batu berwarna hitam, pohon-pohon tumbang. Perahu sangat sulit menembus teluk Bima karena laut benar-benar tertutup.


Selain itu, dalam memoarnya, Sir Thomas Stamford Raffles menulis kesaksiannya sebagai berikut: "Letusan pertama terdengar di pulau ini pada sore hari tanggal 5 April 1815, mereka menyadarinya setiap seperempat jam, dan terus berlanjut dengan jarak waktu sampai hari selanjutnya. Suaranya, pada contoh pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah detasemen tentara bergerak dari Djocjacarta, dengan perkiraan bahwa pos terdekat diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada dalam keadaan darurat".[]


Sumber:

1. Buku "Tambora Menyapa Dunia"


2.https://www.behance.net/gallery/75991801/1815-Tambora-Eruption



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUAMI DENGAN TIGA CINTA

1904 Nest, demikian panggilan EFE Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije dan memperoleh 5 anak, dua diantaranya laki-laki mening...