Selasa, 05 September 2023

DITUDUH PENJAGAL MANUSIA

Tahun 1950an Kartinah mulai menjadi anggota Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar) cabang  jakarta.

Pada Kongres di Surabaya Kartinah hadir karena Ketua Gerwis Jakarta, Ny. Pardede, dan pengurus lainnya Tanti Aidit, tak bisa hadir karena sedang hamil. 

Dalam Kongres Surabaya inilah, Kartinah mengisahkan tentang perdebatan keanggotaan Gerwis. Beberapa kader minta agar keanggotaan Gerwis diperluas. Bukan hanya bagi para perempuan yang sedar (punya kesadaran ideologis dan politis), tapi juga untuk seluruh perempuan Indonesia.

Akhirnya usulan di Surabaya ini terealisasi dalam Kongres II Gerwis yang digelar di Jakarta. Gerwis berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Dalam Kongres ini pula, Kartinah ditetapkan menjadi Sekjen.

Ketika pada tahun 1959, Kartinah ditarik menjadi anggota DPRGR posisi Sekjen kemudian beralih kepada Masyesiwi. Sedangkan Kartinah menempati posisi Wakil Sekjen bersama Sulami.

Gerwani termasuk salah satu organisasi yang masuk dalam keanggotaan GWDS (Gabungan Wanita Demokrasi Dunia). Hal ini menjadikannya mewakili Gerwani dan dikirim ke Berlin, Peking, Moskow, dan Cekoslowakia.

Rencananya pada Kongres Gerwani pada Desember 1965  akan diputuskan apakah Gerwani akan berafiliasi (onderbouw) dengan PKI atau tidak, namun terjadi peristiwa G30S.

Ia ditangkap saat berada di asrama anggota DPRGR di Senayan. Ikut bersamanya dalam penangkapan bulan Oktober 1965 itu adalah Ketua Umum Gerwani Umi Sardjono yang juga anggota DPRGR dari Fraksi Golongan Karya, Wakil Ketua Gerwani Salawati dan Ny. Mudigdo (anggota DPRGR dari Fraksi PKI dan Dahliar (anggota MPRS asal Sumatera). Sejarah kemudian mencatat, sebanyak 136 anggota DPRGR/ MPRS ditangkap.

Kartinah kemudian dijebloskan ke penjara Bukit Duri. Namun yang membuatnya terkejut, ia menemukan cukup banyak tahanan perempuan usia 13-16 tahun yang tak ia kenal. Para tahanan remaja inilah yang dikutip oleh media massa, terutama Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, sebagai para perempuan "Gerwani" yang menari-nari telanjang di Lubang Buaya dan mencungkil mata para jenderal.

Kartinah marah kepada mereka. Namun mereka mengatakan bahwa semua tanya jawab soal Lubang Buaya itu sudah dibikinkan oleh pemeriksanya dan mereka hanya disuruh membubuhkan cap jempol.

Selama dalam tahanan Kartinah dan para pimpinan Gerwani (terutama mereka yang menjabat sebagai anggota DPRGR/MPRS tidak mendapat penganiayaan fisik. Mereka ditempatkan di sel yang terpisah dan tidak boleh berkomunikasi dengan tahanan lain.

Tahun 1978 Kartinah yang dipenjara tanpa melalui sidang pengadilan dibebaskan. Ia lalu tinggal bersama enam anaknya di rumah mertuanya di Kroya dan kemudian di Jakarta dengan putri keduanya.

Setiap kali melintas di Pondok Gede, ia akan melengos dari arah jalan yang menuju Lubang Buaya. "Seumur hidup saya tak akan menginjakkan kaki ke sana. Tempat itu haram bagi saya," demikian ujar wanita kelahiran Yogyakarta 26 Juni 1927 itu.

Bersama Pakorba (Paguyuban Korban Orde Baru) Kartinah pernah menuntut agar pemerintah mencabut relief pada monumen Pancasila sakti yang menggambarkan perempuan berkalung bunga yang menari-nari diantara jasad para jenderal.

Tidak ada tanggapan.[]


Sumber:

1. buku "Kembang-kembang Genjer"

2.https://minahasa.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-2525497624/peran-dan-jasa-organisasi-wanita-pki-gerwani-dalam-pendidikan

3.https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/bagaimana-nasib-gerwani-setelah-g30s-ejbz



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUAMI DENGAN TIGA CINTA

1904 Nest, demikian panggilan EFE Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije dan memperoleh 5 anak, dua diantaranya laki-laki mening...