Asmat berarti 'pohon' atau 'kayu'. Mungkin karena sebutan itu suku Asmat terkenal dengan keunikannya dalam mengukir. Obyek yang cukup menarik dari suku Asmat adalah tiang berukir atau 'bis'
Tigabelas tahun sesudah misteri menghilangnya Michael Rockefeller di Papua, Lorne Blair bersama dua orang kawannya datang ke Agats untuk selanjutnya akan ke Otjanep.
Michael dikabarkan hilang saat akan mengambil 'bis' yang telah dipesannya dari suku Asmat di Otjanep.
Dalam catatannya, adik dari Lawrence Blair yang bersama menulis buku "Ring of Fire. An Indonesian Odyssey" mengisahkan berikut:
Menggunakan kapal tua milik pos misionaris, mereka menyusuri pesisir Cassuarina menuju Basiem, pos misionaris terdekat ke Otjanep, dan tujuan asli Rockefeller sewaktu mesin perahunya mogok.
Untuk mencapai tempat tujuan, mereka harus menunggu sampai orang-orang Otjanep datang ke Basiem untuk berniaga agar memperoleh tembakau.
Hari berikutnya, lima sampan mendekati Basiem melalui sungai, disarati oleh pejuang-pejuang yang berdiri dan berdendang ganas sambil mendorong sampan menggunakan dayung panjang mereka. Hiasan kepala dari bulu berkibaran dan sinar matahari terpantul pada pisau tulang dan hiasan hidung dari cangkang yang mereka kenakan
Tak lama kemudian mereka bertiga sudah duduk memangku perlengkapan-perlengkapan film dalam sampan kecil yang bergoyang-goyang dan meluncur melalui perairan dimana Michael menjemput ajal.
Rimba merapat di sekeliling mereka sewaktu memasuki sungai Etwa yang sempit ke arah Otjanep. Seekor Kakatua Raja- nuri hitam besar dengan paruh berwarna jingga gelap-mondar mandir dengan berisik di atas kepala, sementara panggilan serupa genderang yang dikeluarkan burung Kasuari, yang sebesar burung unta, bergema menembus sesemakan. Jauh di depan, sesuatu meluncur tanpa suara ke dalam sungai. Rupanya seekor biawak sepanjang 1,2 meter yang segera ditangkap oleh pendayung sampan.
Tiba di Otjanep mereka disambut dengan sahut-sahutan meriah sangkakala perang dari bambu. Para penduduk desa mengenakan pakaian yang kotor sekali-celana pendek yang ditahan dengan rotan, kaus oblong compang-camping yang dikenakan sebagai celana, celana yang dikenakan sebagai kaus. Rupanya mereka tidak mengenakan pakaian tradisional untuk menyambut rombongan.
Melihat sambutan itu, sang tamu segera menanggalkan semua pakaiannya. Sejenak tuan rumah terdiam, tapi segera disambut dengan pekikan perang yang ramai sambil melepas semua pakaiannya. Dan selama tinggal dengan suku Asmat mereka hanya mengenakan 'bot asmat', lapisan lumpur kering yang melapisi kaki sampai diatas lutut saat pasang surut.
Mereka tinggal di Leu (rumah panjang yang terdiri dari beberapa keluarga) ditepian sungai pasang Etwa.
Mereka langsung terjerumus ke dalam rutinitas harian Asmat dan terkejut mendapati betapa nyaman hidup di rawa-rawa. Suku Asmat adalah tuan rumah yang sangat penuh perhatian, apalagi dengan dibawakannya sedikit hadiah berharga dalam wujud tembakau hitam kuat yang mereka suka, juga pisau dan kait ikan.
Oleh karena tidak punya peralatan memasak, orang-orang Otjanep membakar, memanggang, atau mengukus makanan mereka dalam dedaunan yang diletakkan langsung di atas bara api. "Makanan pokok' mereka adalah sagu, pati seperti kapur yang diambil dari sejenis palem, tidak bergizi maupun lezat, namun cocok sekali untuk mendampingi sajian kecil berupa beraneka ragam makanan berprotein tinggi yang diambil langsung dari lingkungan. Mereka menyantap ikan, kerang-kerangan, biawak, babi hutan, marsupialia pohon, dan berbagai hidangan lain yang lebih langka, termasuk semacam plankton yang dikukus di daun, yang menurut orang barat merupakan salah satu hidangan paling lezat yang pernah mereka santap.
Sumber:
1. Buku "Ring of Fire" Indonesia dalam Lingkaran Api
2.https://tempodoeloezamandoeloe.blogspot.com/2023/04/misteri-hilangnya-michael-rockefeller.html?m=1
Keterangan foto: Lorne Blair sedang membuat foto suku Asmat dengan seorang kawannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar