Usai perjanjian Giyanti (13 Februari 1755), Mangkubumi (Hamengkubuwono I) sebagai pendiri kesultanan Yogyakarta mengangkat panglimanya, Kiai Wirosentiko yang bergelar Raden Ronggo Prawirodirjo I sebagai bupati wedana (Kepala daerah wilayah timur jauh Yogya) di Madiun (1760-1784).
Sebelum Raden Ronggo I wafat pada 1784, Sultan Mangkubumi membuat janji bahwa dia dan ahli warisnya tak akan pernah menyakiti atau menumpahkan darah keturunan sang Bupati. Dan, jika mereka sampai melakukan pelanggaran, Sultan senantiasa sudi mengampuni. Tapi hanya 18 tahun sesudah raja perintis Yogya itu wafat, anaknya, Sultan II, mengingkari janji yang dibuat ayahnya.
Pada 20 November 1810, cucu Ronggo I, yang waktu itu bergelar Raden Ronggo Prawirodirjo III (menjabat 1796-1810), memilih memberontak daripada dibunuh oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang bengis itu. Ronggo III mengumumkan bahwa pemberontakannya untuk "membersihkan Jawa yang ternoda [Belanda]" serta membela hak orang Jawa dan Cina di Jawa Timur, terutama juga melindungi hutan jati Jawa Timur dari rebutan Belanda.
Hanya seminggu sesudah Ronggo III memberontak, Sultan II mengirim perintah rahasia kepada komandan pasukan gabungan Yogya-Belanda untuk memburunya.
Raden Ronggo III tertangkap di desa Sekaran (Kertosono) di tepi Bengawan Solo pada 17 Desember 1810. Sultan II tak mau menanggung malu bila membawanya ke Yogya dalam keadaan hidup. Ronggo III langsung dibunuh. Jenazahnya dibawa ke Yogya dalam keranda terbuka untuk dipertontonkan di Pangurakan utara alun-alun Keraton sebagai begal biasa.
Setelah sehari-semalam, jenazahnya diturunkan untuk dikebumikan di Banyusumurup, sebuah tempat di tenggara Imogiri dimana para durjana dan pengkhianat dinasti Mataram dimakamkan.
Sultan II membuat sebuah "dosa besar"
Sesudah Ronggo III dibunuh, Yogya seperti hilang pembela [saicale Den Ronggo, nenggih nagri Ngayogya, wus tan ana banthengipun].
Hanya 18 bulan setelah kejadian fatal ini, Sultan II tertimpa "tsunami". Keraton Yogya diserang dan dijarah habis-habis oleh Inggris-Sepoy (20 Juni 1812). Semua uang (sekitar US$ 120 juta uang sekarang), 500-an naskah, gamelan, keris, pusaka, dan barangbarang perhiasan diboyong Inggris ke Bengal. Sang Raja pun kena apes, diasingkan ke Pulau Pinang (1812-1815) dan Ambon (1817-1824). Walaupun begitu, ia kemudian dikembalikan ke takhta Yogya pada 17 Agustus 1826 saat sudah terlalu pikun untuk memerintah. Siapa yang menebar angin akan menabur badai...
Adalah Sultan Hamengku Buwono IX yang mengerti sejarah leluhurnya dengan bijaksana dan mengadakan rekonsiliasi. Sultan bertindak bijak dengan membuka lagi pintu keraton bagi keluarga sang pangeran, yang sudah lama dicap seperti pengkhianat.
Jenazah Raden Ronggo lalu digali dan disemayamkan ulang nun jauh di gunung Bancak, Magetan.
Pada prasasti marmer makam itu terdapat kalimat:
"𝑲𝑷𝑨𝑯 (𝑲𝒂𝒏𝒋𝒆𝒏𝒈 𝑷𝒂𝒏𝒈𝒆𝒓𝒂𝒏 𝑨𝒓𝒊𝒐 𝑨𝒅𝒊𝒑𝒂𝒕𝒊) 𝑹𝒐𝒏𝒈𝒈𝒐 𝑷𝒓𝒂𝒘𝒊𝒓𝒐𝒅𝒊𝒓𝒋𝒐 𝑰𝑰𝑰, 𝑨𝒅𝒊𝒑𝒂𝒕𝒊 𝑴𝒂𝒐𝒔𝒑𝒂𝒕𝒊 𝑴𝒂𝒅𝒊𝒖𝒏 𝒌𝒆 𝑰𝑰𝑰, 𝒅𝒊𝒉𝒖𝒌𝒖𝒎 𝒎𝒂𝒕𝒊 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒑𝒆𝒎𝒃𝒆𝒓𝒐𝒏𝒕𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒘𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒏𝒋𝒂𝒋𝒂𝒉𝒂𝒏 𝑩𝒆𝒍𝒂𝒏𝒅𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒎𝒂𝒌𝒂𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒊 𝒎𝒂𝒌𝒂𝒎 𝒑𝒆𝒎𝒃𝒆𝒓𝒐𝒏𝒕𝒂𝒌 𝑩𝒂𝒏𝒚𝒖𝒔𝒖𝒎𝒖𝒓𝒖𝒑 𝑻𝒉. 𝟏𝟖𝟏𝟎, 𝒅𝒊𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 '𝒑𝒆𝒋𝒖𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒆𝒓𝒊𝒏𝒕𝒊𝒔 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒘𝒂𝒏 𝑩𝒆𝒍𝒂𝒏𝒅𝒂' 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝑺𝒓𝒊 𝑺𝒖𝒍𝒕𝒂𝒏 𝑯𝑩 𝑰𝑿 𝑻𝒉. 𝟏𝟗𝟓𝟕 𝒅𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒎𝒂𝒌𝒂𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒅𝒊 𝑮𝒊𝒓𝒊𝒑𝒖𝒓𝒏𝒐, 𝒎𝒂𝒌𝒂𝒎 𝒑𝒆𝒓𝒎𝒂𝒊𝒔𝒖𝒓𝒊𝒏𝒚𝒂 𝒑𝒖𝒕𝒓𝒊 𝑯𝑩 𝑰𝑰, 𝑮𝑩𝑹𝑨𝒚 [𝑮𝒖𝒔𝒕𝒊 𝑩𝒆𝒏𝒅𝒐𝒓𝒐 𝑹𝒂𝒅𝒆𝒏 𝑨𝒚𝒖] 𝑴𝒂𝒅𝒐𝒆𝒓𝒆𝒕𝒏𝒐."
(Kolom Peter Carey dalam buku "Hamengku Buwono IX" Pengorbanan Sang Pembela Republik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar