Kamis, 28 Desember 2023

WIM WALRAVEN DAN ITIH

Lahir dengan nama Willem Walraven di Belanda bagian selatan tahun 1887.
Orang tuanya adalah pedagang keliling yang pergi dari Pasar malam ke pasar malam sampai akhirnya mempunyai toko kebutuhan sehari-hari.
Hubungan yang tegang dengan orang tuanya membuat Wim tidak betah di rumah dan tinggal bersama para seniman di Delft dan Rotterdam. Lalu Wim pergi ke Kanada dan Amerika serikat. Di negara itu Wim melakukan pekerjaan apa saja untuk bertahan hidup diantaranya menjadi buruh dan tukang cuci piring.
Namun disela-sela kesibukan pekerjaan, ia menyempatkan berkunjung ke perpustakaan untuk membaca dan belajar sendiri.

Pada saat pecah Perang Dunia I tahun 1914, Wim kembali pulang ke negerinya. Namun kembali sambutan keluarganya tetap mengecewakan. 
Agustus 1915, Wim Walraven menandatangani kontrak sebagai tentara KNIL. Ia lalu ditempatkan di Cimahi sebagai tekegrafis. Tetapi statusnya yang bukan perwira dan tidak mempunyai kontak dengan penduduk sipil Eropa, membuat Wim seolah terbuang.
Di Cimahi, karena ditolak masuk restoran dan kelab Eropa, Wim sering berkumpul dengan para serdadu Belanda untuk pergi ke warung kopi. Adalah Itih, seorang janda belia yang menjaga warung kopi kepunyaan pamannya dimana Wim sering berkunjung. Sikap wanita dari Cigugur yang tidak menanggapi godaan para serdadu itu membuat Wim menaruh simpati. Tetapi mereka jarang berkomunikasi karena kendala bahasa.

Setelah tiga tahun bekerja sebagai tentara, Wim Walraven selesai kontraknya. 
Pada 1918 dia pergi ke Banyuwangi, bekerja pada sebuah maskapai minyak "Insulinde" sebagai asisten pemegang buku (boekhouder).
Surat yang dikirimkan kepada temannya yang, menanyakan kabar Itih, ternyata mendapat jawaban yang menggembirakan. Rupanya dua orang itu saling merindukan.
Dia lalu berkirim surat kepada temannya di Cimahi beserta uang sebanyak 25 gulden. Isinya menanyakan, apakah Itih mau datang ke Banyuwangi. Bila mau, pakailah uang itu sebagai ongkos perjalanan.

Pada suatu malam teman-teman Walraven "melarikan" Itih dari rumah bibi dan pamannya, kemudian menaikkan Itih ke kereta api jurusan timur. Setelah menginap semalam di Surabaya, Itih kemudian melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi. Tiba di stasiun Banyuwangi, Walraven telah menunggunya. Rupanya perkiraan Itih akan dijadikan gundik salah. Lamaran Walraven kepada Itih untuk dijadikan isteri membuatnya terkejut sebelum akhirnya dia menyatakan persetujuan.

Rupanya Itih punya bakat bahasa. Kendati tak bersekolah, akhirnya dia bisa berbahasa Belanda, diajari oleh suaminya. Selain itu Itih mengerti bahasa ,Jawa dan Madura.
Meskipun Itih sudah mulai terbuka wawasannya, banyak orang Eropa tidak mau menerima Walraven bersama istri pribuminya. Akibatnya Walraven makin terkucil di tengah lingkungannya. Hal itu pernah dikatakan dalam surat yang ditulis kepada saudaranya, Jaap: "Aku orang buangan"
Ada aspek lain dari kepribadian Willem Walraven. Dia tak pernah makan nasi. Dia lebih suka makanan Belanda seperti roti, kentang, daging. Itih belajar memasaknya untuk Walraven. Tak tahan dengan hawa yang panas, Dia tak tahan hawa panas di kota besar Walraven beserta keluarganya pindah "ke gunung" dekat Malang dengan hawa sejuknya. Tapi hasrat dambanya terhadap Negeri Belanda sungguh mendalam. Dia minta pada saudaranya mengirimkan kepadanya tanam-tanaman bumbu sebagai penyedap, seledri. "Melalui tanam-tanaman bumbu itu aku mencium bau Negeri Belanda" tulis Walraven. Itih melahirkan delapan orang anak, dan dia sadar, lantaran Itih dan anak-anaknya dia tidak pernah lagi bisa melihat dunia (Eropa) itu. Itulah yang membuatnya terkadang putus asa. Dia terus-menerus mengalami kesulitan keuangan. Dia tidak bisa mencukupkan kebutuhan rumah tangganya, mengingat keluarganya yang besar, pendapatannya yang berkurang sebagai akibat malaise, krisis ekonomi. Tambahan pula dia berhadapan dengan ketegangan-ketegangan sementara anak-anaknya menjadi dewasa. Dia hanya berbahagia bila menulis untuk surat kabar, untuk majalah sastra seperti "Kritiek en Opbouw" dan "De Fakkel".

Walraven menulis bermacam karangan mulai resensi buku, fiksi, cerpen, reportase. Dengan piawainya dia melukiskan kota-kota kecil masa lampau Belanda seperti Batavia, Rembang, Kediri dengan bahasa yang memikat.

Terkesan oleh tulisannya yang menarik, surat kabar Surabaya "Indische Courant" merekrut Walraven sebagai wartawan freelance penuh, dan pekerjaan pemegang buku perusahaan dia tinggalkan. Walraven juga diminta pemimpin redaksi, Belonje, untuk menerjemahkan karangan-karangan dalam bahasa Inggris, Jerman dan Prancis kedalam bahasa Belanda. Dia juga menulis buku "Brieven aan familie en vrienden, 1919-1941.
Pecahnya Perang Pasifik dan dimulainya pendudukan Jepang membuat Walraven dimasukkan ke Kamp Interniran di Kesilir, Jawa Timur. Di sana dia kena penyakit disentri, malaria, dan meninggal dunia pada 13 Februari 1943, beberapa saat setelah dikunjungi Itih. Kata-kata penghabisan kepada isterinya ialah, "Dag, Itih". Dia dikuburkan di desa Sanggar dan seusai perang sisa-sisa jenazahnya dipindahkan ke kuburan Leuwigajah dekat Bandung.[]

Dari buku
"Sejarah Kecil 'Petite Histoire' Indonesia.

Keterangan foto: Buku karangan Willem Walraven yang berisi kumpulan surat-surat untuk keluarga dan teman-temannya dengan ilustrasi Wim dan keluarga 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUAMI DENGAN TIGA CINTA

1904 Nest, demikian panggilan EFE Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije dan memperoleh 5 anak, dua diantaranya laki-laki mening...