Rabu, 01 Mei 2024

JUMENENGAN SRI SULTAN HAMENGKUBUWONO IX

Mulai dari Alun-alun Kidul (Selatan) sampai ke Alun-alun Lor (Utara) tampak pemandangan yang indah dan meriah pada pagi hari 18 Maret 1940 itu. 

Semua telah siap menyambut penobatan Raja yang baru. Di Bangsal Kencana para tamu dalam pakaian kebesaran masing-masing mulai memenuhi ruangan. 

Kira-kira jam 10.30 Gubernur Belanda Dr Lucien Adam memasuki Regol Danapertapa  dalam pakaian resminya, disambut oleh GRM Dorodjatun yang juga mengenakan pakaian kebesaran.


Mereka sejenak berada di Bangsal Kencana di mana diperdengarkan lagu kebangsaan Belanda "Wilhelmus". Sesudah itu, dengan Dorodjatun di sebelah kiri Gubernur dan didahului oleh prosesi alat upacara Kesultanan, mereka menuju ke Siti Hinggil dan naik ke Bangsal Manguntur Tangkil Gubernur langsung duduk di kursi kehormatan, sementara Dorodjatun duduk di deret paling depan dalam kelompok para pangeran karena saat itu statusnya pun belum lagi sebagai putra mahkota.

Pada hari bersejarah itu Gubernur Adam atas nama pemerintah Hindia Belanda melakukan dua kali penobatan sekaligus, yaitu mengangkat GRM Dorodjatun sebagai putra Mahkota, dilanjutkan penobatan putra Mahkota sebagai Sultan Yogyakarta dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping-IX.


Setelah kata-kata penetapan Gubernur diucapkan dan lagu "Monggang" memenuhi ruangan yang sedang diliputi suasana khidmat, salvo senapan pun terdengar memecah keheningan dan dentuman meriam menggelegar tiga belas kali.


Resmilah Dorodjatun menjadi Sultan Hamengku Buwono IX. Ia lalu dipersilakan duduk di atas singgasana Kesultanan yang berada di sebelah kanan kursi Gubernur Adam, menghadap ke arah utara. Demikian pula saat keduanya meninggalkan Siti Hinggil usai penobatan Sultan baru berjalan disebelah kanan Gubernur Adam


Ada hal lain yang mengesankan semua yang hadir pada umumnya, mengejutkan para pejabat Belanda pada khususnya. Raja muda yang baru dinobatkan itu mengucapkan pidato yang nadanya progresif dalam bahasa Belanda yang fasih dan diakhiri dengan kata-kata:

"π‘Ίπ’†π’‘π’†π’π’–π’‰π’π’šπ’‚ π’”π’‚π’šπ’‚ π’Žπ’†π’π’šπ’‚π’…π’‚π’“π’Š π’ƒπ’‚π’‰π’˜π’‚ π’•π’–π’ˆπ’‚π’” π’šπ’‚π’π’ˆ 𝒂𝒅𝒂 π’…π’Š π’‘π’–π’π’…π’‚π’Œ π’”π’‚π’šπ’‚ 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 π’”π’–π’π’Šπ’• 𝒅𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒕, π’•π’†π’“π’π’†π’ƒπ’Šπ’‰-π’π’†π’ƒπ’Šπ’‰ π’Œπ’‚π’“π’†π’π’‚ π’Šπ’π’Š π’Žπ’†π’π’šπ’‚π’π’ˆπ’Œπ’–π’• π’Žπ’†π’Žπ’‘π’†π’“π’•π’†π’Žπ’–π’Œπ’‚π’ π’‹π’Šπ’˜π’‚ 𝑩𝒂𝒓𝒂𝒕 𝒅𝒂𝒏 π‘»π’Šπ’Žπ’–π’“ π’‚π’ˆπ’‚π’“ 𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕 π’ƒπ’†π’Œπ’†π’“π’‹π’‚ π’”π’‚π’Žπ’‚ π’…π’‚π’π’‚π’Ž 𝒔𝒖𝒂𝒔𝒂𝒏𝒂 π’‰π’‚π’“π’Žπ’π’π’Šπ’”, 𝒕𝒂𝒏𝒑𝒂 π’šπ’‚π’π’ˆ π‘»π’Šπ’Žπ’–π’“ 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 π’Œπ’†π’‰π’Šπ’π’‚π’π’ˆπ’‚π’ π’Œπ’†π’‘π’“π’Šπ’ƒπ’‚π’…π’Šπ’‚π’π’π’šπ’‚. 𝑾𝒂𝒍𝒂𝒖𝒑𝒖𝒏 π’”π’‚π’šπ’‚ 𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 π’Žπ’†π’π’ˆπ’†π’π’šπ’‚π’Ž π’‘π’†π’π’…π’Šπ’…π’Šπ’Œπ’‚π’ 𝑩𝒂𝒓𝒂𝒕 π’šπ’‚π’π’ˆ π’”π’†π’ƒπ’†π’π’‚π’“π’π’šπ’‚, π’π’‚π’Žπ’–π’ π’‘π’†π’“π’•π’‚π’Žπ’‚-π’•π’‚π’Žπ’‚ π’”π’‚π’šπ’‚ 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 π’π’“π’‚π’π’ˆ π‘±π’‚π’˜π’‚"[]


Sumber

1. Buku " Tahta Untuk Rakyat"

 2.https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/03/18/sejarah-hari-ini-18-maret-1940-penobatan-sri-sultan-hamengkubuwana-ix


Keterangan foto: Sri Sultan Hamengkubuwono IX bersama Gubernur Lucien Adam usai penobatan



JEBAKAN SUBVERSIF

12 September 1984 meletus "Peristiwa Tanjungpriok". Beberapa pers asing menyebut itu sebuah Massacre (pembantaian) yang oleh keterangan resmi pemerintah menelan korban 'hanya' 33 orang.

Sebuah "Lembaran Putih" muncul dalam waktu kurang dari seminggu, ditandatangani oleh dua puluh dua tokoh, termasuk Letjend (purn) HR Dharsono, Letjend Ali Sadikin serta mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dan Sjafruddin Prawiranegara. 

Diantaranya mereka membahas tatanan kehidupan nasional yang salah dan menindas, diantaranya Peristiwa Tanjungpriok.

Pada 'Lembaran Putih' itu disampaikan kronologis peristiwa yang sebenarnya banyak memakan korban.

Laporan itu ditutup dengan:

"Demi keadilan bagi semua pihak, termasuk pemerintah sendiri, sebaiknya dibentuk suatu komisi yang bebas (independen) untuk mengumpulkan keterangan yang jujur mengenai kejadian September 1984 di Tanjungpriok. Laporan Komisi itu harus diumumkan kepada khalayak ramai, supaya kita semuanya dapat menarik pelajaran daripadanya."


Sekitar pukul 15.00 tanggal 8 November 1984, di suatu tempat di Asam Lama H.R. Dharsono didatangi beberapa aparat Laksusda Jaya. Mereka mengatakam Pak Ton (HR Dharsono) diundang untuk bertemu dengan Panglima Kodam V/Jaya Mayor Jenderal Try Sutrisno. Ternyata H.R. Dharsono bukannya dibawa ke Markas Kodam Jaya untuk bertemu Try Sutrisno, melainkan ke Markas Satgas Intel Laksusda V/Jaya di Jalan Kramat V Jakarta. Rupanya itu sebenarnya adalah suatu proses penangkapan.

Tentu saja, tanpa surat perintah penangkapan. H.R. Dharsono memprotes, tetapi tidak diindahkan. Dari Kramat V, H.R. Dharsono dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer Pomdam V Jalan Guntur Jakarta Selatan. Maka terhitung mulai malam 9 Nopember 1984 HR Dharsono berstatus sebagai tahanan Kejaksaan.

Hakim akhirnya memvonis 10 tahun penjara untuk mantan Pangdam Siliwangi itu yang setelah mengajukan banding menjadi 7 tahun dan setelah menjalani 5 tahun masa tahanannya pada 16 September 1990.[]



Sumber:

1.Buku "Kisah Seorang Jenderal Idealis HR Dharsono"

2.https://dedipanigoro.blogspot.com/2008/09/mengenang-ayah-ton.html?m=1



KESAKSIAN DOKTER MILITER PAVEL DURDIK PADA PERANG ACEH

Pada Perang Aceh (1873-1914)  korban tewas di pihak Belanda mencapai 37.500 serdadu -- sepuluh kali lipat dari korban Perang Kemerdekaan 1945-1949. Hingga tahun 1914, korban cacat mencapai 500.000 orang di pihak Belanda dan Aceh. Sepanjang tahun 1882-1893, 51 serdadu Belanda dan 28 serdadu Bumiputra membelot ke kubu Aceh.

Dokter Pavel Durdik, seorang dokter militer KNIL menuliskan pengalamannya selama bertugas di Aceh 1877-1883:

"Pada penugasan di Aceh, Juni 1878, delapan orang Aceh menyerang rumah sakit penjara di Pante Perak selama dua hingga tiga menit ke dalam bangsal perawatan menghajar 35 pasien. Sebanyak 8 pasien yang dianiaya tewas keesokan harinya dan 9 orang lainnya dua hari kemudian akibat luka parah. Sedangkan lima orang pasien lain harus diamputasi ... potongan daging terkelupas menjulur di punggung perawat Tionghoa yang bertugas di bangsal ... betul-betul pemandangan yang mengerikan".

Terhadap buruknya manuver serdadu KNIL Durdik mengisahkan:

"Orang Belanda kesulitan berperang dalam medan yang gelap dan tidak ada jalan raya. Oleh pemandu yang membawanya mereka justru dijebak dengan mengantarkan mereka ke pertahanan orang Aceh sehingga dengan mudah mereka diserang"

Pavel Durdik melukiskan beratnya medan pertempuran di Aceh ketika pasukan bergerak di rimba-belantara: " ... setiap serdadu menjunjung senapan di atas kepala seraya bergerak perlahan di kubangan lumpur, kelelahan, basah dan tibatiba di tengah hutan terdengar teriakan orang Aceh memaki mereka dan menantang bertempur ... Anjing putih mau apa di negeri kami. Siapa yang memintamu datang kemari. Kalian akan mati di sini". Biasanya serdadu Belanda akan balas memaki "Smeerlap" (bedebah sombong).


Sumbersari:

1.Buku: "KNIL" Perang Kolonial di Nusantara dalam Catatan Prancis

2.https://www.researchgate.net/figure/Dr-Pavel-Durdik-photograph-at-Gle-Kambing-Kozinka-Aceh-June-13-1879-Archive_fig1_379542227

Keterangan foto: dokter militer Pavel Durdik 




PROYEK Z

Jepang ingin mengulang kembali sukses menyerang Pearl Harbor. Untuk itu mereka memerlukan pesawat pengebom jarak jauh. Sebagai seorang insinyur angkatan laut, pendiri perusahaan Chikuhei Nakajima mengambil tanggung jawab secara personal, dan dengan senang hati melibatkan diri dalam kesulitan-kesulitan.

Menurut perhitungannya, pesawat pengebom itu harus besar sehingga diperlukan 6 mesin. Daya jangkaunya paling tidak 8.450 km dengan kemampuan angkut 22.450 bom dan mampu terbang pada ketinggian 11.580 meter diluar jangkauan senjata anti pesawat.

Pada presentasinya, Nakajima mengatakan pesawat pengebom Z (atau Proyek Z) ini sebagai senjata rahasia untuk mengalahkan Amerika serikat.

Saat ditanyakan mengenai mudahnya diserang senjata anti pesawat saat turun dari ketinggian, Nakajima menjelaskan Pengebom Z akan mampu mengatasi dengan menyerang lebih dulu sebelum menjatuhkan bom, dengan menggunakan senapan mesin pada sayapnya.

Senapan ini sebanyak 400 buah dalam lajur yang tersusun dari kaliber 250mm disetiap sisinya.

Dengan senapan itu, jelas Nakajima, paling tidak satu peluru akan dapat mengenai satu orang diatas geladak kapal pengangkut musuh atau bahkan senapan anti pesawat musuh.

Dengan formasi 15 pesawat Z, daerah selebar 45 meter dan panjang 10 km akan dihujani dengan peluru, dapat mengenai paling tidak 20 sampai 40 kapal musuh.

Kita berbicara dengan jelas tentang "peluru yang datang bertubi-tubi", tetapi angkatan laut musuh tampaknya akan menemukan tepatnya ini akan seperti apa.

Pada akhirnya, bersama dengan berjalannya waktu, kecenderungan perang berubah dan kenyataan yang tidak terlalu baik terjadi di daerah pendudukan militer Jepang.

Proyek Z semakin terlihat sebagai sebuah fantasi kebodohan Nakajima


Dari buku

WORLD WAR II PLANS

THAT NEVER HAPPENED

Operasi-operasi PD ll yang tak terwujud 1939 - 1945



MENOLAK JABATAN

Yogyakarta 1971,

Hari itu rumah pak AR (Abdur Rozak Fachrudin, Ketua  PP Muhammadiyah) kedatangan tapi Walikota Yogyakarta Sujono A.J bersama asistennya.

Kedatangan orang nomor satu di rumah sederhana yang terletak di Jl. Cik Ditiro 19A itu tentu saja membuat tuan rumah merasa terhormat.

Setelah saling bertukar kabar, Walikota itu manyampaikan maksudnya

"Mohon maaf, Pak A.R ., " kata Wali Kota, "Kedatangan kami ke sini, selain silaturahim dan menadah berkah dari Pak A.R ., juga membawa pesan penting dari Pemerintah Pusat."

Belum hilang keterkejutan pak AR, Sujono A.J. sudah melanjutkan,

"Bapak Presiden meminta kesediaan Pak A.R. untuk menjadi anggota DPR di tingkat pusat."

A.R. menanggapinya hanya dengan senyum. "Wah, wah ... Mimpi apa saya semalam sehingga mendapat anugerah agung seperti ini," kata A.R. setengah bercanda.


Setelah diam beberapa saat pak AR berkata "Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Bapak Wali Kota dan Bapak Presiden kepada saya,"

"Tolong, sampaikan terima kasih saya ini kepada Pemerintah. Terima kasih banyak atas maksud baiknya yang hendak memberi saya kehormatan menjadi anggota DPR. Namun, karena saat ini saya baru saja diberi amanah jadi Ketua Umum

PP Muhammadiyah, maka sampaikan permintaan maaf saya kepada Pemerintah, bahwa saya lebih baik tidak usah menjadi anggota DPR. Saya mohon izin untuk menunaikan amanah warga Muhammadiyah. Izinkan saya memimpin persyarikatan hingga masa bakti saya selesai."

Wali Kota memahami posisi pak A.R. Dia menerima keputusan itu danberjanji segera melaporkannya ke Pemerintah Pusat.

Sebulan kemudian, Sujono A.J datang lagi ke rumah pak AR. Seperti kedatangan sebelumnya, kali ini pesan yang dibawa dari Pemerintah Pusat adalah tawaran kepada pak A.R.sebagai anggota MPR. Wali Kota Sujono juga menjelaskan kepada pak AR. bahwa menjadi anggota MPR tidak sesibuk anggota DPR, karena jarang sidang. Dengan alasan itu, Wali Kota ingin agar kali itu A.R. bersedia menerimanya.

"Saya dan warga Yogyakarta tentu akan merasa sangat bergembira jika Pak A.R. bersedia menerima tawaran ini," kata Sujono sembari menatap wajah pak A.R. penuh takzim.


Seperti biasa, pak A.R. hanya tersenyum. "Saya mengucapkan terima kasih karena untuk kedua kalinya Pemerintah memberi kepercayaan kepada saya untuk menjadi anggota dewan. Tapi, mohon maaf, Pak Wali Kota. Jawaban saya masih sama seperti yang dulu. Saya masih ingin fokus memimpin Muhammadiyah."


Sujono pulang dengan tangan hampa lagi. Pak A.R. tetap pada pendiriannya. Dia menolak dengan halus jabatan anggota MPR yang ditawarkan Pemerintah.


Sejak menolak dua jabatan itu, Pak AR tidak pernah lagi ditawari jabatan di pemerintahan.


Tahun 1988, Pak AR tidak  bisa menolak saat  ditawari menjadi anggota DPA. Untuk menjawabnya diserahkan kepada sidang pleno PP Muhammadiyah.

Akhirnya, sidang pleno PP Muhammadiyah memutuskan agar Pak AR menerima tawaran itu. 

Karena pak AR menjadi anggota DPA, maka beliau mendapat  dan jatah mobil dinas dari negara. Mobil itu memang diterima pak A.R tetapi tidak untuk dipakainya. Kendaraan roda empat itu justru diserahkannya kepada Muhammadiyah. Pak A.R. melakukan itu karena merasa bahwa dirinya diangkat menjadi anggota DPA karena dia dianggap sebagai tokoh Muhammadiyah-bukan karena pribadinya. Jika tidak karena dia seorang tokoh Muhammadiyah, besar kemungkinan dia tidak akan ditunjuk menjadi anggota DPA. Oleh karenanya, dia merasa mobil itu harus diserahkan kepada Muhammadiyah, yang dinilainya paling berhak untuk memanfaatkannya. []


Sumber:

1.Buku "Pak AR & Jejak-jejak Bijaknya"

2.https://ibtimes.id/kisah-pak-ar-berkali-kali-menolak-jabatan/


Keterangan foto: Abdul Rozak Fachrudin (Pak AR)



NGEMAN PAK HARTO

Ngeman adalah bahasa Jawa yang menggambarkan perasaan simpati terhadap orang lain, yang tidak rela orang tersebut mengalami musibah, menderita atau tersakiti.

Hal itulah yang dirasakan Ali Moertopo dan rekannya Yoga Sugomo tehadap Pak Harto.

Dalam rangka ngeman tersebut, mereka menilai masa jabatan Pak Harto sebagai Presiden RI akan mencapai 16 tahun pada 1983. Ini masa jabatan yang cukup lama, sebuah masa jabatan yang luar biasa dan sangat membanggakan, tetapi juga bisa menimbulkan berbagai ekses buruk, antara lain perasaan jenuh. Dalam kaitan kekuasaan, bisa pula menimbulkan perasaan dan sikap keakuan yang berlebihan.


Memahami hal tersebut mereka berdua mencoba mengingatkan Pak Harto dengan "Cara Jawa", yaitu memangku Pak Harto agar cukup merasa puas untuk menjadi tokoh senior dan bapak bangsa yang dimuliakan, yaitu dengan pemberian gelar "Bapak Pembangunan" sebagai puncak prestasi pengabdian sekaligus penghargaan rakyat. Diinginkan agar selanjutnya Pak Harto berkenan lengser dan tidak lagi mencalonkan kembali menjadi presiden para periode berikutnya (tahun 1983-1988). Jika nanti timbul pertanyaan dari Pak Harto, siapakah yang harus menggantikannya? Yoga menyatakan, "Sebaiknya generasi peralihan dari Angkatan 45. Siapa saja yang pak Harto pilih, maka saya akan mendukung dan menyukseskannya."


Sayang, rencana yang telah disusun itu tidak sesuai dengan harapan. Gelar "Bapak Pembangunan" tetap diterima, tapi Pak Harto tetap maju kembali pada Pemilihan Presiden 1983-1988.

Kekecewaan Ali Moertopo, disampaikan kepada Yoga, namun Yoga mengingatkan untuk tidak bertindak lebih jauh sebab bisa disalahartikan mereka punya ambisi untuk meraih jabatan yang lebih tinggi.


Gagal mengingatkan Pak Harto dengan "cara jawa" Yoga mencoba lagi dengan cara terbuka

Dalam suatu pertemuan rutin mingguan di bulan Mei 1985, Yoga menyampaikan pandangannya kepada Pak Harto, antara lain:

1.Pak Harto sudah akan mencapai usia 67 pada Pemilihan Umum tahun 1988 dan secara realita sudah menjadi Kepala Negara selama 22 tahun. Dikhawatirkan akan sampai pada tahap jenuh dan lelah.


2.Periode kepemimpinan 1983-1988 menurut Yoga adalah periode puncak keemasan kepemimpinan Pak Harto. Sesudah itu dikhawatirkan akan mulai melemah.


3.Bisnis keluarga dan putra-putranya yang terus membesar bisa menjadi sumber kecemburuan sosial dan sasaran tembak.


4.Sumber dan jaringan informasi serta rekrutmen Pak Harto secara alamiah semakin menyempit disebabkan kesenjangan generasi.


Berdasarkan analisis tersebut, dalam pertemuan tadi Yoga Sugomo menyarankan agar pak Harto dengan jiwa besar, legowo lengser keprabon dan tidak maju lagi dalam masa jabatan berikutnya pada tahun 1988. Pak Harto dimohon mempersiapkan kader peralihan generasi 45. Siapa pun kader yang ditunjuk, Yoga Sugomo menyatakan akan mengamankan dan mendukungnya.


Saran Yoga tersebut tidak ditanggapi oleh Pak Harto. Juga ditolak oleh Sudharmono dan Benny Moerdani yang hadir dalam pertemuan. Terjadi perdebatan yang cukup menegangkan, sementara Pak Harto terlihat lebih banyak diam dan tidak mengambil sikap. Ibu Tien Soeharto yang diam-diam mengamati, kemudian melintas di ruang pertemuan tersebut, seraya memberi isyarat cenderung mendukung usul Yoga.


Peristiwa malam itu sangat menyakitkan hati Yoga. Ia kesal dan prihatin atas sikap Pak Harto dan kedua sejawatnya. la bahkan memutuskan tidak akan menghadap Pak Harto lagi, jika tidak dipanggil. 

Semenjak itu pula, pertemuan rutin Jum'at malam di jalan Cendana sejak 1974 terhenti. Pertemuan itu biasanya digunakan Presiden dan pembantu terdekat untuk mengevaluasi keadaan, mengolah informasi-informasi penting serta membuat perkiraan keadaan ke depan berikut langkah-langkah untuk mengantisipasinya.

Maka berakhirlah kerja sama 'sedulur sinorowedi' (saudara dekat)itu. Yoga pun menyesuaikan diri dengan masa-masa senjanya dengan lebih menekuni dunia tasawuf.[]


Sumber 

1.Buku "Jenderal Yoga" Loyalis di Balik Layar


2.https://www.google.com/amp/s/daerah.sindonews.com/newsread/1193663/29/kisah-jenderal-yoga-sugomo-sedulur-sinorowedi-yang-berani-minta-presiden-soeharto-tak-nyalon-di-pilpres-1988-1693894160


3.https://www.google.com/amp/s/daerah.sindonews.com/newsread/1193663/29/kisah-jenderal-yoga-sugomo-sedulur-sinorowedi-yang-berani-minta-presiden-soeharto-tak-nyalon-di-pilpres-1988-1693894160


Keterangan foto: Yoga Sugomo (tengah) bersama Sudomo dan M.Yusuf



JEJAK RADEN SALEH DI JERMAN

Di Dresden (Jerman) ,Raden Saleh tinggal di Jalan Neue Alle 134, rumah milik Mayor Friedrich Anton Serre - ajudan gubernur militer Dresden - yang punya selera seni tinggi. Mayor Serre, yang menjadi pelindung Raden Saleh selama berada di Jerman, terpikat oleh karyanya. Dia kemudian mengizinkan Saleh tinggal di istana miliknya di Maxen, kota kecil di atas bukit yang tertutup kerimbunan pepohonan, sekitar 50 kilometer dari Dresden. 

Pergaulan Raden Saleh dengan para bangsawan makin meluas berkat Serre ini. Apalagi Maxen menjadi tempat pertemuan para seniman, pelukis, penyair, dan musisi elite kala itu, seperti Ludwig Tieck, Robert dan Clara Schumann, Karl Gutzkow, pendongeng Hans Christian Andersen, dan Ottilie von Goethe, sehingga banyak bangsawan kerap mengunjungi tempat ini untuk menyaksikan karya seni mereka. Dari sini pulalah Raden Saleh berkenalan dengan Raja Sachsen Coburg dan Gotha Ernst II serta istrinya, Alexandrine. Raden Saleh kerap juga diundang ke istana dan bersantap bersama para bangsawan di Istana Coburg.

Mayor Friedrich Anton Serre juga membuat bangunan berukuran 5x5 meter yang dirancang Raden Saleh. Bangunan ini kemudian diberi nama "Blaue Moschee" atau Masjid Kubah Biru. Ada juga yang menyebutnya "Blaue Haeusel" (Rumah Biru). Bangunan ini masih ada sampai sekarang, bahkan menjadi ikon wisata kebanggaan Maxen.

Di atas Pintu masuk, terdapat inskripsi berbahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Jawa, dan tulisan berbahasa Jerman yang bermakna "Muliakan Tuhan dan Cintailah Sesama Manusia." Inskripsi ini membuktikan bahwa Raden Saleh seorang humanis. Sedangkan di puncak kubahnya ada semacam penangkal petir yang ujungnya berbentuk bulan sabit.[]


Dari buku

"Kiprah, Karya dan Misteri Kehidupan Raden Saleh: Perlawanan Simbolik Seorang Inlander"


Keterangan foto: Masjid Biru hasil rancangan Raden Saleh di Maxen, Dresden, Jerman



SUAMI DENGAN TIGA CINTA

1904 Nest, demikian panggilan EFE Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije dan memperoleh 5 anak, dua diantaranya laki-laki mening...