Pada Perang Aceh (1873-1914) korban tewas di pihak Belanda mencapai 37.500 serdadu -- sepuluh kali lipat dari korban Perang Kemerdekaan 1945-1949. Hingga tahun 1914, korban cacat mencapai 500.000 orang di pihak Belanda dan Aceh. Sepanjang tahun 1882-1893, 51 serdadu Belanda dan 28 serdadu Bumiputra membelot ke kubu Aceh.
Dokter Pavel Durdik, seorang dokter militer KNIL menuliskan pengalamannya selama bertugas di Aceh 1877-1883:
"Pada penugasan di Aceh, Juni 1878, delapan orang Aceh menyerang rumah sakit penjara di Pante Perak selama dua hingga tiga menit ke dalam bangsal perawatan menghajar 35 pasien. Sebanyak 8 pasien yang dianiaya tewas keesokan harinya dan 9 orang lainnya dua hari kemudian akibat luka parah. Sedangkan lima orang pasien lain harus diamputasi ... potongan daging terkelupas menjulur di punggung perawat Tionghoa yang bertugas di bangsal ... betul-betul pemandangan yang mengerikan".
Terhadap buruknya manuver serdadu KNIL Durdik mengisahkan:
"Orang Belanda kesulitan berperang dalam medan yang gelap dan tidak ada jalan raya. Oleh pemandu yang membawanya mereka justru dijebak dengan mengantarkan mereka ke pertahanan orang Aceh sehingga dengan mudah mereka diserang"
Pavel Durdik melukiskan beratnya medan pertempuran di Aceh ketika pasukan bergerak di rimba-belantara: " ... setiap serdadu menjunjung senapan di atas kepala seraya bergerak perlahan di kubangan lumpur, kelelahan, basah dan tibatiba di tengah hutan terdengar teriakan orang Aceh memaki mereka dan menantang bertempur ... Anjing putih mau apa di negeri kami. Siapa yang memintamu datang kemari. Kalian akan mati di sini". Biasanya serdadu Belanda akan balas memaki "Smeerlap" (bedebah sombong).
Sumbersari:
1.Buku: "KNIL" Perang Kolonial di Nusantara dalam Catatan Prancis
2.https://www.researchgate.net/figure/Dr-Pavel-Durdik-photograph-at-Gle-Kambing-Kozinka-Aceh-June-13-1879-Archive_fig1_379542227
Keterangan foto: dokter militer Pavel Durdik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar