Senin, 29 Mei 2023

PERJALANAN KE BEIRUT

Mulanya, karena latar belakang religinya, dr. Ang Swee Chai, yang dibesarkan di Singapura adalah pendukung Israel. Di matanya, orang Palestina adalah teroris. Namun, pada 1982, Israel menyerang Beirut dengan brutal. Keyakinannya pun mulai goyah.

la putuskan untuk membuktikan sendiri dengan menjadi sukarelawan medis di Beirut. Di sana, di kamp pengungsian Palestina, setelah menjadi saksi Pembantaian Sabra-Shatila, akhirnya ia temukan jawaban. la berbalik memihak rakyat Palestina, memihak keadilan dan kemanusiaan. Di tanah asing, ia pertaruhkan nyawanya untuk membela orang-orang yang tak punya hubungan darah maupun etnis dengan dirinya, untuk melaksanakan kewajibannya sebagai dokter, sebagai manusia. 


Berikut penuturannya saat tinggal di Beirut:

Seminggu setelah pembukaan kembali Rumah Sakit Gaza secara resmi, kami kedatangan sebanyak enam puluh pasien rawat inap, pasien dalam daftar tunggu dua kali lipat lebih banyak. Tiga per empat pasien rawat inap itu adalah pasien-pasien ortopedis tetapi dokter bedah ortopedis senior di rumah sakit itu telah diungsikan, sehingga akulah yang ditugasi sebagai penanggung jawab Bagian Ortopedis meskipun aku tahu aku sangat tidak berpengalaman untuk tugas ini, tapi di sini tidak ada orang lain untuk menjalankannya. Jadi, mau tidak mau aku harus mengemban tanggung jawab tersebut.

Pada sore hari usai bertugas, biasanya aku berjalan-jalan berkeliling Sabra dan Shatila. Kesempatan-kesempatan seperti ini sangat berkesan bagiku selaku relawan. Keramahab para keluarga yang tinggal di kamp membuatku merasa sepenuhnya diterima. Walaupun kemalangan menimpa mereka, aku selalu disambut dengan ramah di rumah mereka. Terkadang, sebuah rumah hanya tinggal berupa reruntuhan tembok-tembok, tapi itu tidak masalah. Lantainya akan selalu dipel sebersih mungkin dan aku selalu disuguhi kopi Arab. Sudah lama sekali aku tidak menemukan keramahan seperti itu-tepatnya setelah meninggalkan Asia Tenggara. Orang-orang di kamp itu dengan senang hati memperlihatkan foto-foto keluarga mereka kepada orang asing sepertiku, foto-foto orang-orang yang mereka cintai, foto-foto pernikahan, ulang tahun, dan negeri Palestina. Mereka sering kali berusaha memberiku barang berharga milik mereka.


Gadis-gadis biasanya melepas anting, gelang, atau perhiasan lainnya dan memaksaku menerimanya. Para keluarga yang sangat miskin berusaha memaksaku menerima foto-foto keluarga mereka, atau barang jahitan seperti taplak meja. Dengan segera aku paham untuk tidak pernah memuji barang-barang di dalam sebuah rumah keluarga Palestina, karena pasti barang tersebut akan mereka berikan kepadaku sebagai hadiah. Kemurahan hati mereka sering membuatku malu akan keegoisanku. Aku seorang Kristiani yang mengemban misi "belas kasih"; aku dijuluki oleh pers Singapura sebagai "Wanita Belas Kasih" (Lady of Mercy), tetapi hanya sedikit yang bisa kuberikan kepada orang-orang ini, dan sebaliknya, aku lmenerima seribu kali lipat "kasih" dari mereka. Di kamp, di Rumah Sakit Gaza, bersama orang-orang yang telah menerangi jiwaku melalui tingkah laku dan tindakan mereka, aku merasa jauh lebih dekat dengan Tuhan daripada sebelumnya. 


Rumah Sakit Gaza menjadi semakin kokoh. Dari hari ke hari kami semakin sibuk: bangsal-bangsal perawatan terisi penuh, dan lebih banyak operasi dapat dilakukan seiring pasokan air dan listrik meningkat. Banyak perawat yang muncul dari tempat persembunyian mereka dan kembali ke rumah sakit, sehingga sangat membantu untuk menjalankan aktivitas kembali.

Si kecil Essau, adalah seorang anak yang ada di bangsal perawatan ortopedisku. Dia seorang bocah laki-laki Kristen asal Palestina berambut hitam pendek serta keriting yang mengalami luka akibat cluster bomb yang menewaskan ibunya. Kedua kakinya patah di berbagai tempat karena ledakan. Banyak luka Essau yang membusuk sehingga ia memerlukan operasi bedah ortopedis untuk mengangkat tulang-tulang yang telah mati dan membusuk. Setelah operasi, fraktura-frakturanya perlu diluruskan agar kakinya tidak bengkok. Setiap kali para reporter itu menghampiri bangsalnya, Essau biasanya akan memulai bercerita kepada mereka bahwa kelak ketika dewasa, ia akan menjadi "pejuang" agar dapat melindungi rakyat dan kampnya. Sebelum ia dicap "teroris" oleh para reporter, seorang perawat segera menyingkap bajunya untuk memperlihatkan sepasang kaki yang bengkok penuh goresan serta dikelilingi lubang-lubang luka yang besar dan bernanah. Essau yang berusia tujuh tahun itu akan menatap ke bawah dan terdiam. Tak satu pun dari kami yang merasa yakin jika ia akan dapat kembali berjalan, apa lagi untuk menjadi seorang "pejuang" ketika dewasa nanti.[]


Sumber

Buku "From Beirut to Jerusalem"



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUAMI DENGAN TIGA CINTA

1904 Nest, demikian panggilan EFE Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije dan memperoleh 5 anak, dua diantaranya laki-laki mening...