Jumat, 17 Maret 2023

PERTEMUAN ANAK JENDERAL BERSEBERANGAN

"Mas Gie, kalau bertemu dengan bu Nani, mau tidak?" Tanya dua orang pengurus PPM, sebuah organisasi pemuda, kepada Sugianto.

"Apa!?, benar demikian?. Kalau saya bersedia, apakah bu Nani bersedia?" lanjutnya.

Sugiarto tentu saja beralasan menanyakan hal tersebut. Dia adalah putra Brigjen Supardjo salah satu tokoh dalam peristiwa G30S, sedangkan Nani Nurrachman adalah putri dari Mayjend Sutojo Siswomihardjo, salah satu korban pada peristiwa tersebut.

Setelah berdiskusi dengan Hardoyo, mantan ketua CGMI akhirnya Sugiarto menjumpai Joesoef dan Tigor kembali.

"Baiklah, saya mau bertemu dengan Bu Nani dan putra-putri Pahlawan Revolusi yang lain. Saya ingin berdialog dengan mereka. Mari kita sama-sama saling melupakan masa lalu" kata Sugiarto Supardjo akhirnya.

Dan akhirnya bertempat di Hotel Darmawangsa, Jakarta Selatan, kedua putra putri jenderal yang "berlawanan" itu bertemu.

Awalnya pertemuan itu berlangsung kaku. Untunglah Nani Sutojo adalah pakar psikologi sehingga dapat mengatasi situasi tersebut. Melalui dialog yang halus, toleran, santun, kedua orang berjiwa besar ini mulai melebur dalam percakapan sebagai anak bangsa yang mempunyai keprihatinan yang sama terhadap situasi negara yang terancam disintegrasi.

Kata Nani, "Saya menyadari dengan sikap saya berdamai dengan pihak yang disebut 'lawan', saya akan menghadapi berbagai prasangka dan pertanyaan: bagaimana mungkin seorang Nani Nurrachman bisa dan mau berbuat begini, bukankah dia tergolong mereka yang 'menang'?. Bukankah dia termasuk kelompok yang'benar'? Bukankah itu sama dengan 'mengkhianati' perjuangan ayahnya? Biarlah suara-suara demikian berkumandang. Pada akhirnya saya yakin akan pudar bahkan menghilang sejalan dengan beningnya alam pikiran dan heningnya hari nurani yang digunakan untuk memahami sikap saya"

Kata Sugiarto, "Saya tidak suka mencari kesalahan orang lain, tapi saya mencari kesalahan diri saya sendiri untuk diperbaiki. Saya tidak akan pernah menghujat pak Harto dan siapapun yang telah mengeksekusi ayah saya, karena ibu saya sudah berpesan "Jangan sekali-kali kita menghujat orang yang sudah jatuh, karena kita pernah merasakan kejatuhan juga" Nah, pesan ibu itu saya pegang terus. Saya pun ingin meminta maaf andaikata orang tua saya bersalah, sehingga keluarga Pahlawan Revolusi berduka semuanya. Itu saya lakukan sebagai upaya meringankan beban perasaan yang selama ini dihujatkan kepada kami, seolah-olah kami ini anak pembunuh".

Lanjut Nani "Kita dilahirkan dan dibesarkan oleh ibu-ibu kita di tempat dimana kita sendiri melahirkan dan membesarkan anak dan sanak saudara kita dengan kasih sayang yang tidak dapat ditakar atau ditukar. Namun secara ironis, disini pula kita kehilangan orang-orang yang kita cintai. Dalam suasana yang demikian ada suatu pertanyaan yang terlintas didalam pikiran saya, akan tetapkah kita berkubang dalam suasana demikian? Atau adakah suatu tujuan akhir yang ingin kita capai bersama demi mengembalikan harkat dan martabat kita sebagai manusia di bumi Pertiwi?"

Pertemuan kedua anak jenderal yang ' berlawanan' ini menjadi salah satu pembuka jalan mempertemukan anak-anak korban konflik masa lalu. Anak-anak yang orang tuanya terlibat konflik di masa lalu karena saling berseberangan dalam politik dan ideologi, termasuk konflik bersenjata yang menewaskan para pelaku, seperti anak-anak tokoh PNI, PSI, PKI, Masyumi, DI/TII, PRRI /Permesta, anak-anak Pahlawan Revolusi, anak-anak tokoh Orde lama dan Orde Baru. 

Mereka dipertemukan oleh situasi yang hampir matang, atmosfer yang lebih jernih untuk berkontribusi mewujudkan gagasan luhur "berhenti mewariskan konflik dan tidak membuat konflik baru". Motto inilah yang dipakai oleh anak-anak korban konflik masa lalu ketika membentuk Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB)


dari buku

THE CHILDREN OF WAR



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUAMI DENGAN TIGA CINTA

1904 Nest, demikian panggilan EFE Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije dan memperoleh 5 anak, dua diantaranya laki-laki mening...