Senin, 23 Oktober 2023

PURNA KARENA KECEWA

Sebagai tentara, Oerip dan Soedirman sepakat untuk menghadapi Belanda secara militer, yaitu menyerang selagi mereka lemah. Tapi pemerintah menempuh jalan lain: diplomasi.

Oerip terpaksa tunduk pada kehendak pemerintah. Dia pergi ke daerah-daerah untuk melakukan perundingan gencatan senjata. Baginya, perundingan hanya merugikan TNI. Terbukti, Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati dan melancarkan Agresi Militer pertama. TNI terdesak, tetapi kemudian berhasil melakukan konsolidasi dan melancarkan serangan gerilya.

Oerip kembali menuai kecewa ketika pemerintah kembali berunding. Lahirlah Perjanjian Renville yang tambah melemahkan posisi Indonesia.

Pada akhirnya Oerip tak bisa lagi terus berkompromi dengan pemerintah. Dia memutuskan mengundurkan diri. "Buat apa lagi saya menjadi kepala staf angkatan perang, kalau pemerintah tidak lagi mempercayai angkatan perang sendiri," kata Oerip.

"Kekecewaan-kekecewaan tidak berakhir. Suatu percampuran antara aspirasi politik dan ambisi pribadi akhirnya telah menjatuhkannya," kata Rohmah Soebroto, istri Oerip

Pada 2 Januari 1948, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 1/1948 yang merombak susunan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Kendati Oerip secara resmi belum dibebastugaskan selaku Kepala Staf Oemoem, posisinya digantikan pejabat baru: Kolonel S. Cokronegoro.

Penetapan itu mengagetkan para pejabat teras TNI. Mereka bertanya-tanya apa latar belakang dan tujuan keputusan itu. Soedirman pun bertanya-tanya. Dia merasa kehilangan seorang sahabat pejuang yang setia. Baginya, Pak Oerip bukan sekadar Kepala Staf. Akan tetapi seorang saudara dari mana dia banyak memperoleh pengetahuan teknik militer.

Ternyata, konsep dan rencana penetapan itu dibuat Kabinet Amir tanpa terlebih dulu berunding dengan TNI.

Soekarno sempat mengangkat Oerip sebagai penasihat militer presiden. Namun, Oerip sakit-sakitan, terserang penyakit jantung yang merenggut hidupnya pada 17 November 1948.[]


Sumber:

Buku "OERIP SOEMOHARDJO. BAPAK TENTARA YANG DILUPAKAN"


Keterangan foto: Jenazah Jenderal Oerip Soemohardjo menjelang dimakamkan



MAKANAN DI GULAG

Cairan yang dituang itu berupa air dengan campuran kentang-kentang kecil yang tidak dikupas. Ini adalah menu yang cukup mewah, karena tidak jarang para tahanan mendapatkan kubis hitam, pucuk-pucuk umbi, atau sampah yang lain. Di Kamp Samarka di dekat Karaganda jika sedang kekurangan air, untuk satu hari hanya ada satu mangkuk sup ditambah dengan 2 cangkir air garam yang keruh. Bahan makanan dari gudang yang bagus atau berharga seperti daging, ikan, lemak  biji-bijian selalu dicuri untuk diberikan kepada para kepala, untuk anak emas (tahanan mata-mata), atau untuk para maling-para juru masak yang sudah diteror.

Para tahanan kadang mendapat makanan berupa daging kuda-kuda yang dipekerjakan sampai mati. Sekalipun dagingnya hampir hampir tidak bisa dikunyah, rasanya seperti makan dalam pesta besar.

Tidak mungkin orang bisa bertahan hidup dengan ransum Gulag sementara ia harus bekerja di udara terbuka selama 13 atau 10 jam. Apalagi jika ransum dasarnya sudah dirampok.

Tidak jarang terlihat  para pekerja sekarat melirik iri kepada para saingan; berdiri di depan dapur menunggu keluarnya sampah di dalam air cucian; bagaimana mereka menyerbu air cucian itu, berkelahi satu sama lain, mencari kepala ikan, tulang, sisa-sisa sayuran. Dan kemudian, bagaimana seorang pekerja sekarat mati terbunuh dalam pertengkaran semacam itu. Dan, setelah menyambar sampah itu, mereka membersihkannya, merebusnya, kemudian memakannya.[]


Sumber

1. Buku "GULAG"

2.https://gulaghistory.org/items/browse.html

Keterangan foto: Para Tahanan sedang makan di Gulag



BUNG HATTA YANG UNIK

 

Yogyakarta 1946,

Hari itu Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono IX datang ke rumah dinas Wakil Presiden RI di jalan Reksobayan 4. Beliau membawa sebuah kotak kayu yang isinya ternyata koin-koin emas. Sri Sultan menghadiahkan kotak kayu dan isinya tersebut kepada Bung Hatta yang dimaksudkan untuk mendukung kehidupan Ayah sehari-hari. Ngarso Dalem berkata bahwa Bung Hatta sejak muda tidak henti-hentinya berjuang untuk kemerdekaan bangsa ini. Tentu Bung Hatta menolak hadiah tersebut, meskipun sifatnya pribadi. Namun, Sri Sultan HB IX juga tidak berkenan menarik kembali hadiah yang telah beliau berikan kepada Ayah itu. Akhirnya Ayah memahami iktikad baik Sri Sultan dan beliau meminta Ibu saya untuk menyimpannya. Keesokan harinya Ayah memanggil Bapak R.M. Margono Djojohadikusumo, Prof. Johannes, serta Pak Wangsa Widjaja. Ayah memberikan kotak koin dari Sri Sultan HB IX itu kepada mereka sambil menceritakan perolehannya. Bung Hatta lalu berpesan agar uang itu digunakan untuk kemaslahatan rakyat.

Ketiganya kemudian bersepakat bahwa uang pemberian Sri Sultan HB IX itu akan digunakan untuk kemaslahatan pendidikan anak bangsa sesuai dengan sifat Bung Hatta yang sangat mengutamakan masalah pendidikan. 

Untuk itu mereka berencana mendirikan sebuah yayasan yang mereka beri nama Yayasan Hatta, yang akan mengutamakan kegiatan pendidikan.[]


(dikisahkan oleh Meutia Farida Hatta dalam buku "Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya)

NATSIR DAN BUSANA


 







Awal 1980 an sejumlah pelajar mendatangi kantor Dewan Dakwah. Mereka mengadukan larangan berjilbab kepada siswa sekolah. Terhadap larangan itu, Mohammad Natsir menyampaikan pendapatnya.

"Orang yang pakai jilbab itu adalah sebaik-baiknya muslimah. Tapi yang tidak pakai jilbab jangan dibilang enggak baik."


Natsir pun menegur para pelajar yang dinilainya cenderung meremehkan orang Islam yang tidak berjilbab.

"Mereka berkeras soal jilbab. Kalau tidak berjilbab dianggap tidak baik"

Natsir dikenal sebagai pejuang dan pendidik yang keras, tapi moderat dan demokratis dalam menerapkan ajaran Islam. Dia tidak mewajibkan jilbab kepada istri dan anak-anaknya. Sang istri,Nur Nahar seperti laiknya orang Melayu dan umumnya warga Masyumi sehari-hari dia tampil berkebaya panjang atau baju kurung tanpa kerudung. Ketika menghadiri acara keluarga atau melayat, Natsir baru mengingatkan Nur Nahar agar berkerudung.

"Kamu kan muslimah." Kalimat pendek ini langsung dipahami oleh istri dan keempat anak perempuannya.


Siti Muchliesah, sang putri mengatakan Aba (panggilan untuk M. Natsir) mengharuskan anak-anaknya berbusana santun. Artinya tidak mengenakan celana pendek atau baju tak berlengan.

Saat melihat anaknya berpakaian blus tanpa lengan, Natsir tak menegur langsung. Ia hanya berpesan kepada istrinya "Beri tahu Liés, jangan pakai yang kependekan"


Satu kali, sepulang kuliah, Anies, putri Liés mampir ke rumah kakeknya di Jalan Cokroaminoto. Dia datang mengenakan rok mini yang sedang jadi mode. Tatkala hendak pulang, Natsir memberinya uang sambil berkata, "Ini untuk beli celana panjang." Teguran halus.

Sekalipun keempat putrinya telah menunaikan ibadah haji, Natsir tak memaksa mereka mengenakan jilbab. "Menurut Aba, berjilbab itu harus dari diri kita," tutur Lies.


Sumber

Buku "NATSIR" Politik Santun diantara Dua Rezim

SUAMI DENGAN TIGA CINTA

1904 Nest, demikian panggilan EFE Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije dan memperoleh 5 anak, dua diantaranya laki-laki mening...