Senin, 10 Juli 2023

MAUT BIRU DI BENGGALA (Dari Tambora ke India)

Usai erupsi 10 April 1815,tirai debu vulkanik Tambora mulai bergerak kearah barat dengan kecepatan yang tinggi.

Ujung terdepan semburan stratosferis Tambora tiba diatas teluk Benggala dalam beberapa hari.
Pada akhir April,di Madras pesisir tenggara India,suhu pagi hari anjlok dari 10°C ke -3,33°C, suatu pertanda akan datangnya efek-efek yang merusak cuaca di India.
Materi batu dan abu yang disemburkan pada 10 dan 11 April,terlalu lama di angkasa, pelan-pelan luruh ke troposfer- yg kemudian dibilas dengan hujan sehingga tinggal residu yang mengkilat berbentuk bubuk mineral, gas dan partikel aerosol sulfat yang nantinya akan bertahan di ketinggian selama lebih dari dua tahun.
Seiring berjalannya waktu,dampak Tambora mulai muncul.Gas sulfat Tambora bereaksi dengan oksigen membentuk molekul baru mulai dari Sulfur dioksida, dengan uap air menjadi asam sulfur.
Akhir 1815 aerosol Tambora mencapai suatu kepadatan yang cukup  berinteraksi dengan sinar matahari dan panas radiatif bumi, sehingga memantulkan sinar matahari ke angkasa dan mencegat radiasi dari permukaan bumi.
Akibatnya stratosfer menjadi lebih panas dan suhu bumi turun dan mulailah depresi tiga tahun dalam siklus termal Asia Selatan.
Tahun 1816 hujan tidak turun karena terhalang oleh tirai sulfat vulkanis yang mendinginkan bumi.Di seluruh bentangan Samudera Hindia,angin pasat bertiup lemah. Para petani di dataran Gangga sia-sia menunggu datangnya angin yang diharapkan membawa hujan.
Bulan Mei adalah bulan yang paling kering di India dan pada pertengahan tahun 1816 orang-orang mengadakan upacara Pujah agar turun hujan.
Saat penghambat vulkanis itu teratasi, maka yang terjadi adalah hujan luar musim yang turun sangat ekstrim dan merusak.Musim kering 1816 itu digantikan dengan banjir besar,sehingga mendatangkan kegagalan panen, kelangkaan pangan.Muncul berbagai wabah penyakit lokal 'demam mual' atau hanya'sakit tenggorokan ganas' yang menelan ratusan korban.
Resimen ke-59 Inggris yang ditugaskan di Jessore, Utara Kalkuta kehilangan sampai selusin serdadu tiap harinya.Sementara  di bantaran dan delta sungai Gangga sepanjang waktu tertutup oleh yang mati dan yang sekarat.
Ini baru permulaan dari aksi utama keadaan darurat cuaca Tambora di India.

1817
Di Benggala dampak Tambora membawa awan dan hujan lebat.Angin berbelok menggila dari Utara ke timur,lalu ke selatan membawa hujan yang sangat deras.
Pada 21 Maret,badai es yang tak pernah terjadi sebelumnya menghancurkan tanaman padi musim semi dan memporak-porandakan kebun kurma, pisang dan pepaya.
Mei 1817 wabah Kolera Benggala yang sudah lama ada tiba-tiba muncul diluar musim dengan memperlihatkan kekuatan dan penyebaran yang tidak biasa.Bulan Agustus,"Epidemi" penyakit itu sudah menyebar diantara populasi India, sesuatu yang tidak pernah terjadi.
Sungai Gangga yang pada awal abad 19 menawarkan pemandangan monyet,kerbau dan sesekali gajah yang berkubang di lumpur, serta bunga teratai dan lili air kini menjadi sebuah pawai horor.
Ghaut (undak-undakan batu lebar yang yang langsung menuju sungai) yang menunjukkan irama kehidupan desa digantikan oleh perkabungan dan pembakaran mayat.
James Statham seorang Pendeta Inggris yang melakukan pelawatan menggambarkan...

"Tak seorangpun, kecuali yang pernah menyaksikan pemandangan menyedihkan ini,mampu membentuk gambaran yang memadai mengenai penderitaan manusia, yang diperlihatkan ghaut-ghaut saat kolera mengamuk.Yang mati dan sekarat semuanya meringkuk bersama dalam kerumunan yang kacau.Beberapa api berkobar bersamaan, melahap mayat orang-orang yang lebih kaya dan terpandang, yang baru saja meninggal, sementara makhluk-makhluk malang yang tengah mendekati ajal merasa yakin bahwa beberapa menit lagi jasad mereka harus mengalami nasib yang sama,atau dilempar ke sungai yang mengalir, untuk menjadi mangsa buaya-buaya yang menunggu, atau, lebih buruk lagi, dibiarkan di pantai, menjadi mangsa anjing-anjing jakal dan burung-burung bangkai, yang merundungi tempat itu.Setiap jam datang korban-korban baru yang melipatgandakan kesengsaraan, karena rintihan dan tangisan meningkat, sementara bau angit dari mayat yang dibakar, dan kerlip² api yang berkobar dipantulkan air, memberi penampilan agak ganjil pada garis-garis wajah para korban yang menderita, melengkapi pemandangan kesedihan yang sama sekali menyumbat kekuatan deskripsi untuk menggambarkan"
.....

Dari buku
TAMBORA 1815
letusan raksasa dari Indonesia



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUAMI DENGAN TIGA CINTA

1904 Nest, demikian panggilan EFE Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije dan memperoleh 5 anak, dua diantaranya laki-laki mening...