( 𝑰𝒏 𝑴𝒆𝒎𝒐𝒓𝒊𝒂𝒎 𝑳𝒂𝒌𝒔𝒎𝒂 𝑻𝑵𝑰 (𝑷𝒖𝒓𝒏) 𝑬𝒅𝒅𝒚 𝑻𝒖𝒎𝒆𝒏𝒈𝒌𝒐𝒍)
Sebelum pensiun pada November 1985, saya menerima pesan dari Kantor Pangab. Jenderal Benny Moerdani selaku Pangab menawarkan kepada saya Jabatan Kepala Protokol Presiden RI. Meski pesannya "Ben je bereid..? (Apakah Anda bersedia?), sebenarnya ini adalah perintah militer.
Jadilah, meski tidak punya pengetahuan dan pengalaman protokol negara yang diperlukan, tugas itu saya terima.
Namun, tetap saja ada kesalahan yang saya lakukan, bahkan sampai membuat Presiden marah.
Peristiwa itu terjadi saat acara penyerahan surat kepercayaan duta besar asing kepada Presiden di Istana Merdeka.
Pada acara tersebut duta besar asing baru, masuk ke Credentials Hall (Ruangan Surat Kepercayaan) dari pintu depan dan berhenti berhadapan dengan presiden yang didampingi oleh menteri Luar Negeri. Duta besar baru membaca sambutan singkat penyerahan : dan kemudian maju ke depan untuk menyerahkan surat kepercayaan kepada presiden, tanpa sesudahnya menjabat tangan. Duta besar kemudian kembali ke tempat semula dengan berjalan mundur, jadi tetap menghadap presiden.
Kemudian oleh presiden disampaikan sambutan singkat penerimaan surat kepercayaan. Baru setelah itu duta besar maju bersalaman dan memperkenalkan diri kepada presiden kemudian menteri Luar Negeri dan jajaran pejabat teras Deplu yang hadir.
Pagi itu terdapat tiga duta besar baru: duta besar pertama dari suatu negara Timur Tengah. Setelah menyerahkan surat kepercayaan beliau langsung mau menjabat tangan presiden padahal belum waktunya. Terpaksa presiden menyambut uluran tangan duta besar dan berjabatan tanganlah mereka. Inilah kesalahan acara pertama.
Kesalahan kedua yang gawat dan oleh semua hadirin dianggap sebagai penghinaan. Tidak pernah jelas, apakah sengaja atau tidak. Ini Duta Besar Belanda dengan gelar bangsawan. Setelah menyerahkan surat kepercayaan kepada presiden beliau memang tidak menjabat tangan, akan tetapi langsung balik kanan dan kembali ke tempat semula membelakangi presiden. Duta besar ketiga dari sebuah negara Balkan di Eropa Timur, tidak melakukan kesalahan.
Sudah saya duga, kesalahan duta besar negara Timur Tengah, apalagi duta besar bangsawan Belanda, pasti bakal berbuntut panjang. Benar juga, setelah acara selesai dan presiden masuk kamar kerja beliau, saya diberi tahu ajudan dinas presiden, Kolonel Inf Wiranto, bahwa presiden memanggil saya.
Waktu masuk saya perhatikan raut muka presiden yang tidak seperti biasa. Jelas sekali beliau marah dan saya menjadi sasaran kemarahan. Karena yakin tidak bersalah karena acara penyerahan surat kepercayaan tanggung jawab Kepala Protokol Negara dari Deplu dan bukan saya, maka saya buka mulut menjelaskan.
Kemarahan Presiden Soeharto meledak dan suara marahnya terdengar di seluruh Istana Merdeka. Saya langsung ingat, budaya Jawa adalah menyelesaikan masalah dengan meminta maaf. Benar juga, begitu Presiden Soeharto diam sebentar, saya langsung minta maaf. Langsung pula raut muka beliau dari marah besar kembali menjadi biasa, begitu pula suaranya.
Setelah itu, saya mohon diri dan berjalan mundur sampai ke pintu. Ajudan Dinas Kolonel Infantri Wiranto dan staf Istana kaget karena belum pernah terjadi sebelumnya Presiden Soeharto marah besar dengan suara besar pula. Setelah saya cerita bahwa saya sempat buka mulut karena tidak merasa bersalah, secara serentak terdengar "Oooh, pantas!".[]
(Dikisahkan oleh Laksma TNI (Purn) Eddy Tumengkol dalam buku "DAN TOCH MAAR")
𝑲𝒆𝒕𝒆𝒓𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒇𝒐𝒕𝒐: 𝑬𝒅𝒅𝒚 𝑻𝒖𝒎𝒆𝒏𝒈𝒌𝒐𝒍 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒂𝒎𝒃𝒖𝒕 𝒌𝒆𝒅𝒂𝒕𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑳𝒂𝒅𝒚 𝑫𝒊𝒂𝒏𝒂 𝒅𝒊 𝑮𝒆𝒅𝒖𝒏𝒈 𝑨𝒈𝒖𝒏𝒈 𝒀𝒐𝒈𝒚𝒂𝒌𝒂𝒓𝒕𝒂 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏 𝟏𝟗𝟖𝟕)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar