Sabtu, 08 April 2023

KEMBALI KE JAKARTA

19 Oktober 1999 Provinsi Timor Timur lepas dari wilayah NKRI setelah 24 tahun menjadi provinsi termuda

.......................

Senin, 27 September 1999,

Panglima Darurat Militer, Mayjen Kiki Syahnakri menyerahkan Komando Pengendalian (Kodal) keamanan Tim-tim ke Mayjen Peter Cosgrove pada sebuah upacara singkat dan berlangsung tertutup.

Penguasaan Tim-tim oleh INTERFET ternyata tetap menjadikan tidak aman dari kerusuhan. Gedung Makodim dan Satlantas dalam sekejap menjadi abu. Kondisi ini mencekam bagi warga negara Indonesia.

Atas saran Romo Josef Ageng Marwoto SJ, saya putuskan untuk pulang ke Jakarta ikut dengan pesawat ICRC.

Romo Ageng lalu menjemput saya di Rumah Tinggal Panglima dan setelah berpamitan dengan seluruh perwira yang baik hati itu saya dibawa ke markas ICRC di Bekora, Dili timur.

Meskipun Romo Ageng adalah tokoh sentral yang diterima semua pihak, tak urung perjalanan saya ke Bekora membuat jantung berdegup, apabila saya berpapasan pandang dengan warna Tim-tim yang tidak ramah.

"Romo, saya takut. Kali ini saya merasa takut" kata saya.

Sesampai di Bekora, kami disambut dengan pandangan dingin ratusan warga Tim-tim yang mengungsi di halaman markas ICRC

"Kamu masih takut,Rien?"

"Ya, Romo. Jangan-jangan ICRC tidak bisa membantu saya"

"Ya, kita coba dulu. Melihat posisimu seperti ini, saya yakin mereka mau membantu"

Di ruang tamu ICRC, saya duduk terdiam. Di pojok ruangan itu, saya melihat seorang lelaki berperawakan kekar dan berambut cepak. Saya terpaksa memalingkan muka saat pandangan kami bertumbukan.

Romo Ageng menemui dan berbicara dengan Symeon Antoulas Ph.D, kepala ICRC untuk Tim-tim.

"Sebetulnya kami sudah tidak diizinkan lagi untuk membawa warga Tim-tim keluar..." ujarnya.

"But, she's Indonesian. Dan saat ini nyawanya terancam" kata Romo Ageng.

"Can I see your passport?...So, you are not East Timoreese. I think, it won't be a problem to us" kata Symeon. Ia lalu melesat entah kemana. Sesaat kemudian ia kembali. Menyerahkan paspor hijau yang telah dilengkapi dengan secarik kertas dengan kop ICRC DILI

Di secarik kertas itu tertulis:

"To: Bob Mc.Kay

This is to authorize the below mentioned person/s to take ICRC plane back to Surabaya on 30.9.99 subject to availability..." Alinea selanjutnya diisi nama saya sesuai dengan paspor dan ditandatangani Symeon Antoulas lengkap dengan cap tinta merah ICRC.

"Ok,so, you're safe now...don't worry" kata Symeon.

Sesaat kemudian ia memanggil lelaki kekar berambut cepak di pojok ruangan. Hati saya berdegup kencang! Tetapi sesaat kemudian saya lega ketika melihat paspor hijau yang dia bawa. Akhirnya kami berkenalan. Ternyata dia adalah Herman G Mintapradja dan rupanya kami senasib.

"Oh, ternyata kita senasib. Sejak itu saya dikejar-kejar habis. Dari tadi saya pun mengamati Anda, karena saya juga khawatir dan bertanya tanya orang ini siapa" kata Mas German. 

Mas German adalah orang yang paling dicari, karena dia satu-satunya orang yang berhasil merekam prosesi pemakaman Agus Mulyawan dan kedelapan korban lain di Los Palos dan mengirimkannya ke RCTI.

"Romo, terimakasih"

Hanya kata itu yang bisa saya ungkapkan atas segala jasa dan kebaikan Romo Ageng. Saya tidak akan mampu membalas seluruh jasa dan kebaikan Romo Ageng. "Romo, mungkin ini lebih tepat jika Romo yang mengenakan. Meski ini bukan rompi anti peluru sesuai standar internasional, tetapi setidak-tidaknya ini bisa menahan bacokan". Romo tersenyum menerima rompi antibacok yang saya kenakan selama bertugas di Tim-tim. "Terimakasih, Romo, sekali lagi terimakasih..." bisik saya dalam hati.


(diceritakan CM Rien Kuntari dalam buku "TIMOR TIMUR SATU MENIT TERAKHIR")


Keterangan foto: wartawan Kompas CM Rien Kuntadi mewawancarai Xanana Gusmao



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUAMI DENGAN TIGA CINTA

1904 Nest, demikian panggilan EFE Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije dan memperoleh 5 anak, dua diantaranya laki-laki mening...