RAISA

 KISAH-KISAH DARI MOSKWA (1970 - 1982)

Universitas "Lumumba", Moskwa, 1975

Literatur yang kuperoleh dari perpustakaan Lenin untuk penelitian 'micro vascular-surgery' kebanyakan berbahasa Inggris sedangkan kemampuan bahasa Rusiaku terbatas.

Suatu saat, datang seorang pasien ketempatku praktik dengan keluhan appendix akut. Melihat aku berbahasa Rusia tidak lancar, maka ia menggunakan bahasa Inggris yang fasih. Segera kutawarkan untuk membantu penerjemahan penelitianku. Tapi dia justru menyarankan agar aku bekerja sama dengan temannya di percetakan literatur bahasa asing.

"Dia pernah tinggal di Indonesia. Mungkin jadi lebih menarik" katanya.

Tak lama kemudian aku diajak kerumah wanita itu di perumahan Rakyat satu kamar. Raisa Ivanovna berumur 35 tahun berkulit sawo matang dengan tinggal dengan anak perempuannya berumur 11 tahun bernama Katia.

Dan terjadilah kesepakatannya: tiap pekan aku membawa fotokopi  artikel kedokteran berbahasa Inggris untuk dia terjemahkan kedalam bahasa Rusia. Beberapa hari kemudian aku mengambil terjemahan sambil membawakan artikel baru.

Setelah beberapa kali  bertemu, aku mengetahui kehidupan pribadinya yang berhubungan dengan Indonesia.

Raisa datang ke Indonesia bersama rombongan spesialis pupuk buatan superfosfat yang pabriknya didirikan di Cilacap. Raisa tinggal di perumahan karyawan pabrik pupuk itu dan berkenalan dengan seorang insinyur kimia. Hubungan dinas itu akhirnya berakhir dengan pernikahan mereka. Setahun kemudian Raisa hamil. Dalam cuti hamilnya bulan Agustus 1965, Raisa kembali ke Moskow dengan harapan anaknya lahir disana dan otomatis menjadi Warga Negara Uni Soviet. Awal Oktober 1965 anak mereka lahir bersamaan dengan tragedi G30S. Raisa masih sempat menerima sepucuk surat terakhir dari suaminya tertanggal akhir Oktober 1965, yang memberitahukan agar jangan kembali dulu ke Indonesia, menunggu kabar lebih lanjut. Surat itu tanpa nama pengirim dengan alamat sebuah rumah kelurahan di Cilacap.

Kami kemudian berunding, mencoba untuk menelusuri keberadaan suaminya. Dengan alamat tujuan kepada pak Lurah sesuai dengan alamat yang tertulis pada surat terakhir, Raisa mengucapkan dalam bahasa Rusia dan saya menuliskan dalam bahasa Indonesia yang kira-kira demikian:

𝑴𝒂𝒔, 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒍𝒊𝒔 𝒔𝒖𝒓𝒂𝒕 𝒊𝒏𝒊 𝒔𝒂𝒎𝒃𝒊𝒍 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈𝒊𝒔 𝒅𝒊𝒄𝒆𝒌𝒂𝒎 𝒌𝒆𝒔𝒆𝒅𝒊𝒉𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒂𝒌 𝒕𝒆𝒓𝒕𝒂𝒏𝒈𝒈𝒖𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏. 𝑨𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒚𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒌𝒆𝒉𝒊𝒅𝒖𝒑𝒂𝒏 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂 𝒅𝒊 𝒎𝒂𝒔𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒍𝒖, 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒊𝒏𝒊 𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒉𝒊𝒍𝒂𝒏𝒈. 𝑨𝒌𝒖 𝒎𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒓 𝒑𝒆𝒔𝒂𝒏𝒎𝒖 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒑𝒊𝒔𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒌𝒊𝒕𝒂, 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒈𝒂 𝒌𝒆𝒔𝒆𝒉𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒊𝒌-𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒌𝒆𝒔𝒆𝒉𝒂𝒕𝒂𝒏𝒌𝒖, 𝒌𝒆𝒔𝒆𝒉𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒚𝒊 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒖𝒍𝒂𝒉𝒊𝒓𝒌𝒂𝒏. 𝑺𝒆𝒃𝒖𝒍𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒌𝒆𝒅𝒂𝒕𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏𝒌𝒖 𝒅𝒊 𝑴𝒐𝒔𝒌𝒘𝒂, 𝒃𝒂𝒚𝒊 𝒊𝒕𝒖 𝒍𝒂𝒉𝒊𝒓, 𝒅𝒊𝒂 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒖𝒕𝒓𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒖𝒏𝒈𝒊𝒍 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒐𝒏𝒆𝒌𝒂. 𝑩𝒆𝒓𝒌𝒖𝒍𝒊𝒕 𝒄𝒐𝒌𝒍𝒂𝒕 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒌𝒖𝒍𝒊𝒕𝒎𝒖, 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒅𝒊𝒘𝒂𝒋𝒂𝒉𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒖𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕 𝒔𝒆𝒈𝒖𝒓𝒂𝒕 𝒓𝒂𝒖𝒕𝒎𝒖 𝒕𝒆𝒓𝒍𝒖𝒌𝒊𝒔 𝒅𝒊 𝒔𝒂𝒏𝒂. 𝑨𝒌𝒖 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒆𝒓𝒊𝒂𝒌 𝒃𝒆𝒓𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝒌𝒆𝒍𝒂𝒉𝒊𝒓𝒂𝒏 𝒊𝒕𝒖, 𝒅𝒂𝒏 𝒂𝒌𝒖 𝒃𝒆𝒓𝒈𝒆𝒈𝒂𝒔 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒓𝒊𝒎 𝒕𝒆𝒍𝒆𝒈𝒓𝒂𝒎 𝒃𝒖𝒂𝒕𝒎𝒖, 𝒃𝒖𝒂𝒕 𝒃𝒂𝒑𝒂𝒌 𝒋𝒂𝒃𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒂𝒚𝒊, 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒂𝒏𝒂𝒌 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒍𝒂𝒉𝒊𝒓 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒎𝒂𝒕.

𝑨𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒏𝒈𝒈𝒖-𝒏𝒖𝒏𝒈𝒈𝒖 𝒃𝒂𝒍𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒍𝒆𝒈𝒓𝒂𝒎 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒆𝒃𝒖𝒕, 𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒕𝒂𝒌 𝒌𝒖𝒏𝒋𝒖𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒕𝒂𝒏𝒈. 𝑫𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒌𝒆𝒃𝒊𝒏𝒈𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏𝒌𝒖, 𝒂𝒌𝒖 𝒑𝒆𝒓𝒈𝒊 𝒌𝒆 𝒌𝒆𝒎𝒆𝒏𝒕𝒆𝒓𝒊𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒓𝒊𝒎 𝒕𝒊𝒎 𝒂𝒉𝒍𝒊 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒑𝒂𝒃𝒓𝒊𝒌 𝒔𝒖𝒑𝒆𝒓-𝒇𝒐𝒔𝒇𝒂𝒕, 𝒂𝒌𝒖 𝒃𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕 𝒌𝒆𝒕𝒆𝒎𝒖 𝒊𝒏𝒔𝒊𝒏𝒚𝒖𝒓 𝑽𝒂𝒔𝒊𝒍𝒊 𝑰𝒗𝒂𝒏𝒐𝒗𝒊𝒄, 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊 𝑪𝒊𝒍𝒂𝒄𝒂𝒑 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒔𝒂𝒉𝒂𝒃𝒂𝒕 𝒌𝒂𝒓𝒊𝒃 𝒌𝒊𝒕𝒂, 𝒅𝒊𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒓𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒅𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒖𝒃𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒑𝒐𝒍𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒈𝒖𝒏𝒄𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒊 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂. 𝑺𝒂𝒂𝒕 𝒌𝒖𝒕𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈𝒎𝒖 𝒅𝒊𝒂 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒌𝒆𝒃𝒊𝒏𝒈𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒓𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏, 𝒌𝒂𝒖 𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒍𝒂𝒎𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂𝒍𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒂𝒃𝒓𝒊𝒌 𝒊𝒕𝒖 𝒕𝒂𝒏𝒑𝒂 𝒌𝒆𝒕𝒆𝒓𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒑𝒂. 𝑻𝒆𝒏𝒕𝒖 𝒂𝒌𝒖 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒑𝒖𝒂𝒔 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝒋𝒂𝒘𝒂𝒃𝒂𝒏 𝒕𝒂𝒏𝒑𝒂 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒔𝒕𝒊𝒂𝒏 𝒊𝒕𝒖. 𝑵𝒂𝒎𝒖𝒏 𝒔𝒆𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒌𝒖𝒅𝒆𝒔𝒂𝒌, 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊𝒂 𝒌𝒂𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏, 𝒌𝒂𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒌𝒆𝒂𝒅𝒂𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒎𝒂𝒕 𝒔𝒖𝒍𝒊𝒕, 𝒃𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒑𝒆𝒓𝒃𝒖𝒓𝒖𝒂𝒏. 𝑯𝒂𝒕𝒊𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒆𝒓𝒊𝒕 𝒎𝒆𝒏𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒓 𝒌𝒂𝒃𝒂𝒓 𝒊𝒕𝒖, 𝒅𝒂𝒏 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒈𝒊𝒈𝒊𝒍 𝒌𝒆𝒕𝒂𝒌𝒖𝒕𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒌𝒊𝒓𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒔𝒆𝒍𝒂𝒎𝒂𝒕𝒂𝒏𝒎𝒖! 𝑲𝒆𝒏𝒂𝒑𝒂? 𝑲𝒆𝒏𝒂𝒑𝒂 𝒌𝒂𝒖 𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒃𝒖𝒓𝒐𝒏? 𝑨𝒑𝒂 𝒅𝒐𝒔𝒂𝒎𝒖? 𝑳𝒂𝒍𝒖 𝒌𝒂𝒖 𝒍𝒂𝒓𝒊 𝒌𝒆𝒎𝒂𝒏𝒂? 𝑩𝒖𝒌𝒂𝒏𝒌𝒂𝒉 𝒌𝒂𝒖 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒊𝒏𝒔𝒊𝒏𝒚𝒖𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒄𝒆𝒓𝒅𝒂𝒔 𝒅𝒂𝒏 𝒓𝒂𝒋𝒊𝒏 𝒃𝒆𝒌𝒆𝒓𝒋𝒂? 𝑩𝒖𝒌𝒂𝒏𝒌𝒂𝒉 𝒌𝒂𝒖 𝒅𝒊𝒄𝒊𝒏𝒕𝒂𝒊 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝒃𝒖𝒓𝒖𝒉-𝒃𝒖𝒓𝒖𝒉 𝒑𝒂𝒃𝒓𝒊𝒌 𝒊𝒕𝒖 𝒅𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒎𝒖𝒂 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒓𝒖𝒉 𝒓𝒂𝒔𝒂 𝒉𝒐𝒓𝒎𝒂𝒕 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂𝒎𝒖? 𝑺𝒖𝒏𝒈𝒈𝒖𝒉 𝒂𝒌𝒖 𝒕𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝒌𝒆𝒃𝒆𝒏𝒈𝒊𝒔𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒊𝒎𝒑𝒂𝒎𝒖.

𝑴𝒂𝒔, 𝒂𝒌𝒖 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕 𝒎𝒆𝒎𝒂𝒔𝒕𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒑𝒂𝒌𝒂𝒉 𝒔𝒖𝒓𝒂𝒕𝒌𝒖 𝒊𝒏𝒊 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒂𝒊 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂𝒎𝒖. 𝑨𝒌𝒖 𝒕𝒂𝒌 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒏𝒊 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒂𝒏𝒕𝒖𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒍𝒂𝒎𝒂𝒕 𝒍𝒂𝒏𝒈𝒔𝒖𝒏𝒈 𝒌𝒆 𝒓𝒖𝒎𝒂𝒉 𝒌𝒊𝒕𝒂, 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏𝒌𝒂𝒉 𝒌𝒂𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒑𝒆𝒓𝒃𝒖𝒓𝒖𝒂𝒏? 𝑺𝒖𝒓𝒂𝒕 𝒊𝒏𝒊 𝒌𝒖𝒂𝒍𝒂𝒎𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒑𝒂𝒌 𝑳𝒖𝒓𝒂𝒉, 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒌𝒆𝒏𝒂𝒍 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒂𝒌𝒓𝒂𝒃. 𝑻𝒂𝒑𝒊 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒊𝒓𝒂 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒔𝒆𝒌𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒃𝒆𝒓𝒈𝒂𝒏𝒕𝒊 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒂𝒓𝒖. 𝑫𝒂𝒏 𝒂𝒌𝒖 𝒃𝒆𝒓𝒅𝒐𝒂, 𝒔𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒑𝒂𝒌 𝑳𝒖𝒓𝒂𝒉 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒂𝒓𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒓𝒖𝒔𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒓𝒂𝒕 𝒊𝒏𝒊 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂𝒎𝒖, 𝒅𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒊𝒕𝒖 𝒌𝒖𝒔𝒂𝒎𝒑𝒂𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒓𝒂𝒔𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒊𝒎𝒂 𝒌𝒂𝒔𝒊𝒉𝒌𝒖.

𝑴𝒂𝒔, 𝒌𝒂𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒎𝒂𝒏𝒖𝒔𝒊𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒂𝒍𝒊𝒏𝒈 𝒌𝒖𝒄𝒊𝒏𝒕𝒂𝒊 𝒅𝒊 𝒃𝒖𝒎𝒊 𝒊𝒏𝒊, 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂𝒎𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈𝒊𝒔. 𝑲𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒅𝒊𝒑𝒊𝒔𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒔𝒆𝒑𝒖𝒍𝒖𝒉 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏 𝒕𝒂𝒏𝒑𝒂 𝒂𝒅𝒂 𝒌𝒂𝒃𝒂𝒓 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝒔𝒆𝒌𝒂𝒍𝒊. 𝑨𝒏𝒂𝒌 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒌𝒖𝒃𝒆𝒓𝒊 𝒏𝒂𝒎𝒂 𝑲𝒂𝒕𝒆𝒓𝒊𝒏𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒖𝒑𝒂𝒏𝒈𝒈𝒊𝒍 𝑲𝒂𝒕𝒊𝒂. 𝑫𝒊𝒂 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒈𝒂𝒅𝒊𝒔 𝟏𝟎 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏, 𝒂𝒏𝒂𝒌 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒓𝒂𝒋𝒊𝒏 𝒃𝒆𝒍𝒂𝒋𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒄𝒆𝒓𝒅𝒂𝒔. 𝑫𝒊𝒂 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒌𝒆𝒍𝒂𝒔 𝟒 𝑺𝒆𝒌𝒐𝒍𝒂𝒉 𝑫𝒂𝒔𝒂𝒓, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒋𝒖𝒂𝒓𝒂 𝒌𝒆𝒍𝒂𝒔. 𝑫𝒊𝒂 𝒔𝒆𝒓𝒊𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈𝒎𝒖 "𝑺𝒊𝒂𝒑𝒂 𝑩𝒂𝒑𝒂𝒌𝒌𝒖 𝒅𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒅𝒊𝒂?" 𝑻𝒂𝒑𝒊 𝒅𝒊𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒑𝒆𝒏𝒋𝒆𝒍𝒂𝒔𝒂𝒏𝒌𝒖, 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒑𝒂 𝒃𝒂𝒑𝒂𝒌𝒏𝒚𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒃𝒆𝒓𝒔𝒂𝒎𝒂 𝒌𝒊𝒕𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒑𝒂 𝒃𝒂𝒑𝒂𝒌 𝒕𝒂𝒌 𝒑𝒆𝒓𝒏𝒂𝒉 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒌𝒊𝒕𝒂. 𝑲𝒊𝒓𝒊𝒎𝒌𝒂𝒏𝒍𝒂𝒉 𝒌𝒂𝒃𝒂𝒓, 𝑴𝒂𝒔, 𝒘𝒂𝒍𝒂𝒖𝒑𝒖𝒏 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒊𝒏𝒈𝒌𝒂𝒕 𝒔𝒂𝒋𝒂. 𝑲𝒂𝒎𝒊 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒊𝒏𝒕𝒂𝒊𝒎𝒖, 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒎𝒆𝒓𝒊𝒏𝒅𝒖𝒌𝒂𝒏𝒎𝒖. 𝑲𝒂𝒎𝒊 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒎𝒆𝒏𝒅𝒂𝒎𝒃𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒆𝒎𝒖𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒍𝒊𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒆𝒌𝒆𝒍𝒖𝒂𝒓𝒈𝒂𝒂𝒏 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊.

𝑴𝒂𝒔,𝒂𝒌𝒖 𝒅𝒂𝒏 𝑲𝒂𝒕𝒊𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒆𝒍𝒖𝒌 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒊𝒖𝒎𝒎𝒖 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒈𝒆𝒏𝒂𝒑 𝒌𝒂𝒔𝒊𝒉.

𝑹𝒂𝒊𝒔𝒂

(𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒓𝒂𝒕𝒌𝒖 𝒊𝒏𝒊, 𝒎𝒐𝒉𝒐𝒏 𝒃𝒂𝒏𝒕𝒖𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒓𝒖𝒔𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒔𝒂𝒏𝒈𝒌𝒖𝒕𝒂𝒏, 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒊𝒎𝒂 𝒌𝒂𝒔𝒊𝒉)

Surat itu kukirim lewat pos dengan untung-untungan. Rasanya, hanya keajaiban saja yang bisa meneruskan surat itu, dan memperoleh balasan ataupun pencerahan dari pihak ketiga tentang bapaknya Katia. Namun, sampai aku meninggalkan Moskwa di akhir tahun 1981, surat itu tak pernah ada balasannya.

Raisa tetap dalam kegelapan, tak tahu dimana suaminya, juga tak tahu apakah dia masih hidup atau telah menjadi korban pembantaian. Bukankah Raisa telah mengatakan, suaminya aktivis gerakan buruh pro-komunis.

Raisa korban tragedi 1965. Dan Katia, gadis yang ketika itu umurnya memasuki 11 tahun, tumbuh tanpa pernah mengenal bapaknya, tanpa mengerti apakah gerangan yang telah terjadi, mengapa dia tak memiliki bapak seperti teman-temannya yang lain? Raisa telah kehilangan suami, dan Katia telah kehilangan Bapak, dan di Rusia mereka masih dihinakan oleh sanak saudaranya sendiri. []

(diceritakan oleh Waloejo Sedjati, mahasiswa kiriman pemerintah Indonesia yang sedang tugas belajar kedokteran di Pyongyang, Korea Utara yang kemudian dicabut paspornya sehingga tak bisa pulang ke tanah air, kemudian pindah ke Uni Soviet, lalu ke Perancis)

Sumber:

1. Buku "BUMI TUHAN

orang buangan di Pyongyang, Moskwa, dan Paris"

2.https://cielsorra.wordpress.com/tag/waloejo-sedjati/

Keterangan foto: Waloejo Sedjati mengenakan topi berwarna merah