Rabu, 24 Januari 2024

NGOPI BERSAMA NGARSO DALEM

Gedung Rakyat Malang 1947,

Sidang KNIP yang pertama tengah berlangsung. Malam mulai larut, sidang terasa, bertele-tele. Sri Sultan duduk di pojok ruangan, saya di ujung yang lain. Dia kelihatan kesal, bosan, kedua kakinya diluruskan.


Ketika melihat saya, dia lantas bangun dan mendekat. "Saudara Baswedan, ayo kita keluar sebentar". Saya pun ikut, karena memang agak capek juga. Kami keluar, udara dingin. Sri Sultan merapatkan mantelnya, kami berjalan dan mampir di warung kecil di pinggir jalan. Duduk di bangku kayu bercahayakan lampu sentir, minum kopi panas dan makan dua potong pisang goreng. Saya hanya membayangkan, apa yang akan dilakukan si tukang warung itu jika dia tahu bahwa orang bermantel biru tua yang tengah diladeninya adalah Sri Sultan yang terkenal itu.


Sering kali kita enggan melakukan hal-hal yang dulu biasa kita kerjakan jika posisi kita sudah lain dari dulu. Sudah jadi "orang gede". Orang sering menyebutnya sebagai "mobilitas vertikal". Apalagi di jaman kemerdekaan, ketika orang bisa mendadak mendapat kedudukan yang besar, semacam menjadi Menteri, staf Kabinet atau memegang posisi di Departemen ini dan itu. Orang-orang yang naik mendadak ini kadang-kadang lantas bermacam-macamlah tingkahnya. Kebalikannyalah yang justru terlihat dan terjadi pada Sri Sultan. Kenangan di warung pinggir jalan kota Malang, di suatu malam yang gerimis, adalah kejadian kecil yang menjadi bukti besar akan sifat demokratis pribadi ini.[]


(Dikisahkan oleh Abdul Rahman Awad Baswedan, anggota KNIP Jakarta, anggota Konstituante dalam buku "Tahta untuk Rakyat")


Keterangan foto: Sri Sultan Hamengkubuwono IX saat sidang KNIP di Malang



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUAMI DENGAN TIGA CINTA

1904 Nest, demikian panggilan EFE Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije dan memperoleh 5 anak, dua diantaranya laki-laki mening...