Minggu, 02 Juli 2023

POLISI PELAYAN MASYARAKAT

 


Pada 1 Mei 1968, pangkat Hoegeng dinaikkan menjadi Komjen dan empat belas hari kemudian diangkat menjadi Menteri Panglima Angkatan Kepolisian di Mabes Polri, Kebayoran baru dengan inspektur upacara Jendral Soeharto.

Sesaat setelah menjabat Menpangak, Hoegeng melakukan dua pembaruan yaitu Angkatan Kepolisian Republik Indonesia diganti dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Menpangak diganti dengan Kapolri.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperbaiki citra Polri adalah menjalin hubungan dengan pers. Sebisa mungkin Polri terbuka terhadap pers. Pemberitaan pers tentang kegiatan Polri, juga gagasan dan aspirasi masyarakat terhadap Polri merupakan "buku harian terbuka" Polri.

Hoegeng sangat menghayati profesinya sebagai polisi. Sebelum pukul 07.00, ia sudah tiba di Mabes saat sebagian besar stafnya belum lagi tiba.

Rute yang ditempuh dari rumah pribadinya (Menteng) ke Mabes Polri, tiap hari berganti. Maksudnya adalah untuk mendapat gambaran situasi, dan lebih khusus lagi untuk inspeksi tidak langsung, yang berkaitan dengan tugas-tugas kepolisian. Dengan cara itu, Hoegeng tahu persis kondisi lalulintas, termasuk kesiagaan polantasnya.

Pada saat tertentu yang mengundang kemeriahan massa semisal malam takbiran, malam natal dan tahun baru, Hoegeng bersama pucuk pimpinan Polri yang lain turun langsung ke lapangan, ke pusat-pusat keramaian untuk menunjukkan kesan kepada masyarakat bahwa mereka telah memberikan pelayanan optimal pada perayaan Nasional yang banyak mengundang massa.

Hoegeng teringat apa yang diajarkan di PTIK, bahwa kehadiran seorang atau sejumlah polisi justru mendatangkan rasa tenteram kepada masyarakat sekitarnya, bukan rasa takut, sebab polisi bukan momok bagi masyarakat. Hanya para penjahat, atau yang bermaksud jahat, yang takut atau was-was terhadap kehadiran polisi.

Pada dasarnya seorang polisi adalah pelayan masyarakat, untuk menegakkan ketertiban dan keamanan umum. Polisi adalah polisi, itulah makna kedudukan dan perannya ditengah masyarakat. Dalam posisi sosial demikian, maka seorang agen polisi sama saja dengan jenderal polisi.

Karena prinsip itulah, Hoegeng tidak pernah merasa malu, turun tangan sendiri mengambil alih tugas teknis seorang anggota polisi, yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak ditempat. Misalnya, jika terjadi kemacetan disebuah perempatan yang sibuk, dengan baju dinas Kapolri, Hoegeng akan menjalankan tugas seorang polantas di jalan raya. Hoegeng menjalankannya dengan ikhlas, seraya memberi contoh kepada anggota polisi yang lain, tentang motivasi dan kecintaan pada profesi.

Atas dasar asumsi agar senantiasa dekat dengan masyarakat pula, Hoegeng tidak merasa perlu memasang gardu penjaga di halaman rumahnya, di kawasan Menteng. Hal itu dibuat, agar seseorang tidak merasa takut atau enggan bertamu ke rumah seorang Kapolri. Kalau ada yang enggan dan takut bertamu, justru Hoegeng merasa tidak enak, karena terisolasi.


Dari buku

HOEGENG

Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUAMI DENGAN TIGA CINTA

1904 Nest, demikian panggilan EFE Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije dan memperoleh 5 anak, dua diantaranya laki-laki mening...